Koordinator Keuangan Berkelanjutan IESR, Farah Vianda.

Jakarta, Petrominer – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memperbarui panduan pasar keuangan berkelanjutan dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI) menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) pada Februari 2024 lalu. Salah satu tujuannya adalah untuk menarik lebih banyak pembiayaan berkelanjutan ke berbagai sektor, termasuk sektor energi, dan mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih awal.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai upaya pembaruan tersebut sebagai langkah maju. Namun, masih ada celah yang bisa membuatnya kurang efektif.

“Celah ini memungkinkan praktik greenwashing demi mendulang pembiayaan berkelanjutan,” ungkap Koordinator Keuangan Berkelanjutan IESR, Farah Vianda, Jum’at (17/5).

Farah menyebutkan, celah tersebut berupa sistem pelabelan yang memberikan peluang bagi aktivitas energi fosil untuk mendapat pembiayaan berkelanjutan. Pada TKBI, klasifikasi aktivitas ekonomi tidak lagi dilabeli dengan warna lampu lalu lintas (merah, kuning, dan hijau), melainkan dengan “tidak memenuhi klasifikasi”, “transisi” untuk aktivitas yang belum sejalan dengan Persetujuan Paris tapi mengurangi emisi secara signifikan dalam jangka waktu tertentu, dan “hijau” jika sejalan dengan Paris Agreement dan mempertimbangkan NZE 2060 atau lebih cepat.

TKBI memasukkan dalam kategori ‘transisi’ untuk aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) existing (sudah beroperasi) dan pembangunan PLTU baru yang ditetapkan sebelum Perpres 112/2022 atau PLTU baru yang terintegrasi dengan industri.  Terdapat inkonsistensi untuk pengkategorian PLTU dengan pembangkit lainnya.

Dari aspek mitigasi emisi, pembangkit lainnya seperti gas, air, panasbumi dan sebagainya akan dapat kategori “transisi” jika emisi daur hidup pembangkit di antara 100-500 gram setara karbon dioksida per kWh dan kategori “hijau” jika emisi daur hidup di bawah 100 gram setara karbon dioksida per kWh. Namun untuk semua jenis PLTU pembandingnya bukan emisi daur hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan pengurangan emisi GRK minimal 35 persen dalam jangka waktu 10 tahun, dan diwajibkan berhenti beroperasi paling lambat pada tahun 2050.

“Adanya pengkinian secara berkala dan pengetatan kriteria menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Selain itu, perlu adanya pihak ketiga untuk memastikan kategori pelabelan suatu kegiatan telah sesuai TKBI, bukan hanya penilaian yang dilakukan secara internal,” paparnya.

Sementara itu, Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menganggap indikator penurunan emisi di PLTU rendah mengingat PLTU punya emisi operasional mencapai 900-1200 gram setara karbon dioksida per kWh, dan lebih besar lagi jika menghitung emisi daur hidup. Sehingga menyematkan label transisi maupun hijau dengan indikator pengurangan emisi 35 persen setelah 10 tahun, tidak tepat dan jelas bertentangan prinsip umum mitigasi krisis iklim yaitu sejalan dengan komitmen untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan berusaha membatasinya hingga 1,5 derajat Celsius.

“Jika ingin konsisten dengan 1,5 derajat Celsius, seharusnya emisi dari PLTU batubara nasional sudah mencapai puncak sebelum 2030, mendekati nol di tahun 2040, dan tidak ada lagi emisi dari PLTU di 2045. Indikator yang dipakai untuk kategorisasi hijau harusnya untuk dukungan pembiayaan yang memungkinkan PLTU untuk mengurangi emisi sebelum 2030 dan berhenti beroperasi sebelum 2045,” ungkap Deon.

Selain itu, aktivitas pertambangan dan penggalian mineral yang mendukung industri transisi energi, seperti tembaga, nikel, dan timah, juga masuk dalam kategori ‘transisi’. IESR menemukan pelabelan ini belum disertai dengan keterangan yang jelas untuk memastikan bahwa semua kegiatan pertambangan dan penggalian secara konsisten mendukung transisi energi.

Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, Wira A Swadana, menuturkan, TKBI dapat menjadi acuan pendanaan untuk mendukung pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia kedepannya.

“TKBI perlu memastikan adanya kaidah-kaidah yang jelas yang harus sesuai dengan penggunaan teknologi yang terbukti efisien dan efektif untuk penurunan emisi, sehingga TKBI juga dapat menjadi acuan teknis untuk mendukung penyusunan NDC kedua atau Second NDC (SNDC) yang komprehensif,” kata Wira.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here