Kenaikan Royalti Minerba, Momentum Percepatan Transisi Energi

0
388
Loading batubara ke tongkang dengan conveyor di pelabuhan Keramasan, Palembang, Sumatera Selatan.

Jakarta, Petrominer – Langkah pemerintah menaikkan royalti mineral dan batubara (minerba) dinilai positif oleh kalangan masyarakat sipil. Namun mereka mengingatkan, potensi peningkatan pendapatan negara dari kebijakan ini harus diarahkan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia.

Tidak hanya itu, tambahan dana yang diperoleh tersebut sebaiknya dialokasikan untuk mendukung pembangunan sektor energi hijau, salah satunya melalui subsidi maupun insentif fiskal. Pada saat yang sama, diberlakukannya kebijakan ini juga dapat menjadi strategi untuk memperbaiki tata kelola sektor tambang.

“Kenaikan tarif royalti ini harus dimanfaatkan secara strategis untuk mendukung transisi energi,” ungkap Policy Strategist CERAH, Al Ayubi, dalam pernyataan tertulis yang diperoleh PETROMINER, Sabtu (10/5).

Keputusan menaikan tarif royalti minerba tersebut diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18/2025 dan PP Nomor 19/2025. Dalam kebijakan terbaru ini, Pemerintah memberlakukan tarif royalti progresif untuk mineral seperti nikel, dari sebelumnya tarif tunggal 10 persen menjadi 14-19 persen, menyesuaikan Harga Mineral Acuan (HMA).

Sementara untuk batubara, terdapat penyesuaian berdasarkan jenis izin. Royalti untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik, sedangkan royalti untuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) justru turun.

Investasi Hijau

Menurut Ayubi, kenaikan royalti tersebut jangan hanya dipandang sebagai tambahan pendapatan negara, tetapi juga harus menjadi momentum perbaikan tata kelola industri ekstraktif dalam mengakselerasi transisi energi. Dana yang diperoleh harus secara jelas diarahkan untuk mendukung pembangunan sektor energi hijau, melalui subsidi energi terbarukan maupun insentif bagi investasi hijau.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah sejauh ini baru mengalokasikan dana sekitar Rp 34,2 triliun per tahun untuk energi terbarukan, jauh di bawah kebutuhan riil sebesar Rp 148,3 triliun per tahun. Situasi ini menyebabkan target bauran energi nasional dan target pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions (NDC) sulit tercapai.

Tak hanya itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa sepanjang 2019-2021, investasi swasta untuk energi fosil masih mendominasi sebesar 73,4 persen, sementara energi terbarukan hanya mendapat porsi 26,6 persen.

“Kesenjangan pendanaan ini menjadi hambatan utama transisi energi di Indonesia. Karena itu, dana tambahan dari kenaikan royalti minerba harus segera dialokasikan untuk menutup celah pendanaan energi terbarukan,” tegasnya.

Sementara Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, menambahkan bahwa peningkatan pungutan produksi batubara merupakan solusi strategis bagi Pemerintahan Prabowo Subianto dalam mempercepat transisi energi sekaligus mengatasi krisis iklim.

Tata menjelaskan ada tiga tujuan utama dari peningkatan pungutan ini. Pertama, meningkatkan penerimaan negara secara signifikan untuk percepatan transisi energi. Kedua, memberikan disinsentif produksi batu bara sehingga investasi bergeser ke energi bersih dan terbarukan. Terakhir, mewujudkan prinsip keadilan dengan menarik pungutan yang proporsional dari sektor tambang batu bara yang selama ini menikmati keuntungan besar.

“Tarif royalti dan pungutan produksi batubara lainnya masih harus dinaikkan secara bertahap untuk mencapai ketiga tujuan tersebut,” ungkapnya.

Menurut Tata, dengan skenario harga batubara aktual periode 2022-2024, Pemerintah berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan negara antara US$ 5,63 miliar hingga US$ 23,58 miliar (Rp 84,55 triliun – Rp 353,7 triliun) per tahun. Dana ini sangat mencukupi untuk mendanai kebutuhan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar US$ 96,1 miliar hingga 2030, yang sampai saat ini masih terkendala pendanaan konkret.

Tidak Terjebak

Sedangkan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengingatkan agar Pemerintah tidak terjebak dalam pendekatan jangka pendek yang hanya mengejar peningkatan penerimaan negara.

Aryanto menegaskan bahwa kebijakan royalti harus menjadi instrumen strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara secara bertahap, yakni pengurangan produksi batubara dan penghentian operasional PLTU pada jaringan listrik PT PLN (Persero) maupun yang dibangun khusus untuk kebutuhan tertentu (PLTU Captive), seperti di kawasan hilirisasi mineral.

Hal ini mengingat RPJMN 2025-2029 masih mematok produksi batubara sebesar 700 juta ton per tahun, jauh melampaui batas aman dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang hanya 400 juta ton. Selain itu, selama ini industri minerba telah menikmati berbagai insentif besar sejak diberlakukannya UU Minerba No.3 Tahun 2020.

“Karena itu, kenaikan royalti harus menjadi alat untuk memperbaiki tata kelola secara menyeluruh dan memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak. Utamanya, pemerintah sebaiknya tidak mengalokasikan tambahan pendapatan dari kenaikan royalti untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi Dimetil Eter (DME) yang terbukti tidak ekonomis dan tidak ramah lingkungan,” ujar Aryanto.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here