
Jakarta, Petrominer – Indonesia tengah berada pada persimpangan sejarah dalam perjalanan industrialisasi dan transisi energinya. Di satu sisi, berkomitmen penuh terhadap pengurangan emisi karbon dan peningkatan bauran energi terbarukan melalui berbagai regulasi. Di sisi lain, struktur industri nasional masih sangat bergantung pada energi fosil dan bahan impor untuk menopang teknologi energi baru dan terbarukan (EBT).
Di sinilah pentingnya kehadiran Roadmap Industri Pendukung EBT. Tidak hanya sebagai pedoman teknis, namun juga menjadi jembatan hukum antara visi transisi energi dan arah pembangunan industri nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN).
Rifqi Nuril Huda, S.H., M.H., CLA.
Alumni Magister Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS), dan Ketua Umum Akar Desa Indonesia
——————————————-
Dalam konteks hukum pembangunan, setiap kebijakan energi yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak dapat berdiri sendiri. Pasalnya, energi bukan sekedar penyediaan listrik, namun juga mencakup pembentukan nilai tambah ekonomi melalui aktivitas industri yang berkelanjutan. RIPIN sejatinya menjadi peta besar industrialisasi Indonesia untuk periode 2015–2035.
Namun, perkembangan global yang cepat menuntut revisi substansial agar RIPIN selaras dengan dinamika energi hijau. Tanpa sinkronisasi ini, cita-cita transisi energi akan berhenti pada proyek pembangkit dan panel surya semata, tanpa melahirkan transformasi struktural yang menguatkan kapasitas industri dalam negeri. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik memerintahkan penyusunan peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan percepatan pembangunan pembangkit EBT.
Artinya, ada mandat eksplisit bahwa peralihan menuju energi hijau harus dibarengi dengan penguatan kemampuan nasional dalam memasok komponen, peralatan, dan teknologi penunjang.
Dalam hal ini, roadmap industri pendukung EBT harus menjadi bagian integral dari sistem perencanaan industri nasional, bukan sekadar dokumen sektoral milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pendekatan sektoral yang terfragmentasi justru dapat menimbulkan tumpang tindih antara kebijakan industri, kebijakan energi, dan kebijakan lingkungan hidup, sehingga efektivitas transisi energi akan tergerus oleh lemahnya koordinasi antar kementerian.
Harmonisasi Kebijakan
Sinkronisasi roadmap industri EBT dengan RIPIN memiliki dasar normatif yang kuat dalam kerangka Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Peraturan ini mengatur strategi kebijakan energi nasional hingga tahun 2060, dengan periode peninjauan setiap lima tahun. Artinya, kebijakan energi bersifat dinamis dan harus selalu disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan nasional.
Oleh sebab itu, roadmap industri EBT mesti disusun dengan horizon waktu yang sepadan, yakni jangka menengah dan panjang. Dengan begitu, setiap kebijakan industri dapat mengakomodasi target dekarbonisasi nasional secara berkesinambungan. Tanpa sinkronisasi RIPIN dan KEN, Indonesia hanya menjadi pasar bagi teknologi asing yang memasok komponen energi bersih tanpa memperoleh keuntungan strategis dalam bentuk penguasaan teknologi dan penyerapan tenaga kerja domestik.
Keterpaduan ini juga perlu dipandang dari sudut Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan (WtE) dan Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon. Kedua kebijakan ini secara eksplisit membuka ruang baru bagi investasi hijau dan teknologi ramah lingkungan di sektor energi.
Namun, tanpa roadmap industri yang memetakan kebutuhan lokal, pasar, dan rantai pasok teknologi WtE maupun energi rendah karbon lainnya, peluang tersebut akan kembali dinikmati oleh industri luar negeri. Misalnya, proyek waste-to-energy yang dikembangkan di kota-kota besar saat ini masih mengandalkan teknologi impor, karena belum ada peta kebutuhan industri nasional yang mampu memproduksi peralatan dan sistem pengolahan yang sesuai dengan karakteristik sampah domestik.
Di sinilah letak urgensi roadmap industri EBT, sekiranya mampukah sebagai penghubung antara target energi bersih dan kapasitas industri nasional. Dalam kerangka hukum ekonomi, hubungan ini bukan sekadar soal efisiensi pasar, tetapi juga menyangkut mandat konstitusional negara untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dengan demikian, pembangunan industri yang mendukung energi terbarukan bukan hanya isu ekonomi, tetapi juga perwujudan keadilan sosial antar generasi. Kemandirian teknologi energi bersih akan memastikan bahwa generasi mendatang tidak lagi bergantung pada impor energi fosil yang menimbulkan beban lingkungan dan fiskal.
Lebih jauh, roadmap industri ini akan menjadi mekanisme untuk menerjemahkan instrumen ekonomi hijau seperti Nilai Ekonomi Karbon (NEK) ke dalam bentuk insentif bagi industri domestik. Selama ini, kebijakan karbon lebih banyak dibahas dalam konteks perdagangan emisi. Padahal dalam praktiknya, NEK juga dapat menjadi sumber dana bagi Green Industrial Fund atau semacam dana abadi untuk mendukung pendirian pabrik panel surya, baterai penyimpanan energi, turbin angin, dan komponen listrik hijau lainnya.
Dengan demikian, setiap rupiah dari perdagangan karbon dapat kembali ke industri nasional untuk memperkuat rantai pasok EBT. Ini selaras dengan semangat good corporate governance dan prinsip keadilan distributif dalam hukum ekonomi yang menekankan pemerataan manfaat dari sumber daya nasional.
Jika tidak dimasukkan dalam revisi atau lampiran RIPIN, roadmap industri EBT akan kehilangan legitimasi hukum dan terancam tidak menjadi acuan lintas kementerian. Dalam konteks tata kelola regulasi, konsistensi antara peraturan menjadi dasar dari kepastian hukum (legal certainty) yang merupakan pilar utama negara hukum (rechtstaat).
Dari perspektif kebijakan publik, integrasi antara roadmap industri dan kebijakan energi juga membuka peluang pemerataan pembangunan daerah. Misalnya, lokasi potensial PLTS dan PLTB di wilayah timur Indonesia dapat menjadi basis pengembangan klaster industri komponen atau perakitan turbin yang melibatkan tenaga kerja lokal.
Dengan cara ini, transisi energi tidak hanya berwujud penggantian sumber energi, tetapi juga menjadi strategi pemerataan ekonomi dan penguatan kemandirian daerah. Hal ini mengembalikan semangat desentralisasi pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri.
Belajar dari China
Jika menilik pengalaman internasional, China menjadi contoh konkret bagaimana roadmap industri energi terbarukan dapat dioperasionalkan sebagai alat pembangunan nasional. Pemerintah China tidak hanya menyusun target energi bersih, tetapi juga menetapkan industrial roadmap yang memuat sasaran kuantitatif produksi panel surya, baterai, turbin, dan hydrogen electrolyzer hingga tahun 2035.
Strategi itu juga melibatkan mekanisme pendanaan yang solid melalui special funds yang diarahkan khusus untuk mendukung riset, inovasi, dan modernisasi pabrik. Pemerintah menyalurkan subsidi tidak secara luas, melainkan berbasis kinerja dan pencapaian teknologi. Pendekatan ini memastikan bahwa dana publik digunakan untuk mempercepat kemajuan industri, bukan sekadar menjaga daya saing harga.
Dengan kebijakan tersebut, Negeri Tirai Bambu ini berhasil membangun ekosistem industri energi hijau yang kuat dan kini menguasai lebih dari 70 persen pasar global untuk modul surya dan baterai litium.
Selain itu, China menerapkan green procurement policy di mana pemerintah hanya membeli produk dengan jejak karbon rendah untuk proyek infrastruktur dan energi. Kebijakan pengadaan semacam ini menciptakan pasar domestik yang besar bagi produk-produk energi bersih, yang pada gilirannya menarik investasi swasta untuk membangun kapasitas manufaktur dalam negeri.
Praktik tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia, tentu dengan penyesuaian terhadap konteks hukum dan ekonomi nasional. Indonesia perlu merancang model kebijakan industri yang tidak bergantung pada subsidi besar, melainkan mengandalkan kombinasi insentif fiskal, pembiayaan hijau, dan transfer teknologi.
Program insentif pajak yang saat ini diberikan kepada industri kendaraan listrik dapat diperluas ke sektor manufaktur energi terbarukan. Misalnya melalui tax holiday untuk produsen sel surya, battery pack assembly, dan grid inverter.
Selain itu, pemerintah dapat mengadopsi mekanisme procurement preference di mana proyek energi berskala besar milik negara wajib menggunakan produk dengan kandungan lokal tertentu. Kebijakan semacam ini tidak hanya menumbuhkan industri nasional, tetapi juga menciptakan permintaan yang stabil sehingga investor memiliki keyakinan untuk menanamkan modal jangka panjang.
Meski begitu, keberhasilan China bukan semata karena kebijakan industri yang kuat, melainkan juga karena konsistensi dalam perencanaan lintas-sektor. Setiap target energi diterjemahkan ke dalam target industri, riset, dan pengembangan sumber daya manusia.
Di sinilah tantangan utama Indonesia. Fakta yang ada koordinasi lintas kementerian masih lemah dan seringkali terhambat oleh ego sektoral. Padahal, roadmap industri pendukung EBT memerlukan peran aktif tidak hanya dari Kementerian ESDM dan Perindustrian, tetapi juga dari Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri agar implementasinya terintegrasi hingga ke tingkat daerah.
Oleh karena itu, diperlukan task force nasional yang bersifat lintas kementerian dan lembaga. Tugas utamanya adalah menyusun dan mengawal implementasi roadmap industri EBT sebagai prioritas pembangunan nasional.
Keadilan Energi
Penyusunan roadmap industri pendukung EBT pada akhirnya bukan sekadar urusan teknis atau ekonomi. Langkah ini juga wujud nyata keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Melalui industrialisasi hijau, negara menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya untuk menciptakan lapangan kerja, memajukan kesejahteraan, dan menjaga lingkungan hidup bagi generasi mendatang.
Tanpa roadmap ini, transisi energi akan kehilangan makna keadilan. Karena, manfaatnya hanya dinikmati oleh segelintir pelaku industri global. Sementara beban sosialnya ditanggung oleh masyarakat lokal yang kehilangan pekerjaan dari sektor fosil.
Sudah saatnya, Pemerintah memperlakukan roadmap industri EBT sebagai agenda strategis nasional, bukan pelengkap kebijakan energi. Revisi RIPIN perlu segera dilakukan agar arah industrialisasi disesuaikan dengan tantangan abad ke-21, yang berorientasi pada ekonomi hijau dan rendah karbon. Dalam jangka panjang, keberadaan roadmap ini akan memastikan bahwa setiap proyek energi bersih bukan hanya menyalakan listrik, tetapi juga menyalakan harapan bagi kemandirian bangsa.
Transisi energi yang berkeadilan hanya akan terwujud bila negara hadir secara utuh. Yakni, menciptakan regulasi yang sinkron, industri yang tangguh, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Dengan fondasi hukum yang jelas dan arah kebijakan yang terukur, Indonesia dapat menapaki jalan menuju kedaulatan energi hijau bukan sekadar menjadi pasar teknologi, melainkan menjadi produsen masa depan yang memimpin peradaban energi bersih di Asia Tenggara.

























