
Jakarta, Petrominer – Pemerintah dan pelaku industri didesak mengambil langkah cepat guna mendiversifikasi sektor batubara. Ini sebagai antisipasi dampak anjloknya ekspor ke China sepanjang Agustus 2025 yang mencapai 21 persen. Kondisi ini juga berpotensi mengancam ekonomi nasional, terutama bagi daerah penghasil batubara.
Laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) mengungkapkan, melemahnya pasar ekspor China bukan sekadar gejolak musiman atau siklus harga komoditas global seperti sebelumnya. Ini merupakan indikasi perubahan struktural permintaan energi Negeri Tirai Bambu tersebut. Apalagi kini, China semakin mengandalkan produksi batubara domestik, memperbaiki logistik energi, serta mempercepat transisi menuju energi bersih.
“Pergeseran struktural dalam pasar energi China memberikan risiko jangka panjang yang mengancam bisnis batubara Indonesia. Pasalnya, selama ini China menyerap hingga 43 persen dari total ekspor batubara Indonesia,” tulis laporan ESI tersebut, yang diperoleh PETROMINER, Rabu (29/10).
Pemimpin Riset Transisi Batubara ESI, Hazel Illango, mengatakan perusahaan maupun pemerintah harus menyadari bahwa risiko yang dihadapi Indonesia bukan lagi bersifat sementara, melainkan struktural yang berasal dari perubahan kebijakan energi China. Indonesia tidak bisa mengatasi risiko ini hanya dengan menyesuaikan biaya danvolume produksi, atau diversifikasi pasar tujuan ekspor batubara.
“Industri dan pemerintah harus memikirkan strategi yang lebih jauh darihanya mengatasi masalah musiman pasar batu bara ini,” ujar Hazel.
Salah satu tantangan utamanya adalah industri batubara Indonesia kini harus bersaing dengan industri sejenis di China yang semakin efisien, yang membuat industri batubara Indonesia semakin sulit bersaing. Dengan produsen batubara China menawarkan harga yang semakin kompetitif, pertanyaannya adalah sejauh mana eksportir batubara Indonesia dapat menurunkan harga mengingat terbatasnya kemampuan mereka untuk melakukan hal tersebut.
Kebijakan China untuk meningkatkan penggunaan batubara domestik dan memanfaatkan batubara dengan kualitas yang lebih tinggi akan semakin melemahkan pangsa pasar Indonesia dalam jangka panjang. Selain itu, kebijakan iklim dan transisi energi China turut memperkuat tekanan ini, di mana lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listrik China pada tahun 2024 bersumber dari energi bersih.
“Ketika risiko fundamental lebih besar daripada risiko siklikal, tantangannya bukan lagi sekadar menghadapi volatilitas pasar, tetapi memikirkan kembali dasar ekonomi jangka panjang dari sektor tersebut,” ungkap Hazel.

Melemahnya ekspor batubara ke China akan membawa implikasi fiskal dan ekonomi serius bagi Indonesia. Sebab, batubara masih menjadi kontributor utama pendapatan negara, dengan sumbangan lebih dari Rp 100 triliun pada tahun 2023.
“Jika tren penurunan ekspor berlanjut, pemerintah pusat dan daerah penghasil batubara akan menghadapi penurunan penerimaan yang signifikan,” paparnya.
Pemerintah juga bergantung pada ekspor batubara untuk menstabilkan harga domestik, antara lain melalui kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang membatasi persaingan dari pertumbuhan penggunaan energi terbarukan. Kemampuan Indonesia untuk mempertahankan mekanisme ini mungkin akan dipertanyakan, dan para pembuat kebijakan perlu meninjau ulang kerangka subsidi serta menyeimbangkan kembali prioritas antara stabilitas harga jangka pendek dan ketahanan ekonomi jangka panjang.
Menurut Hazel, meningkatnya risiko fundamental menunjukkan bahwa masa keemasan ekspor batubara Indonesia ke China kemungkinan telah memasuki fase pertumbuhan yang terbatas. Meskipun penurunan ekspor saat ini mungkin bersifat sementara, faktor-faktor mendasar mengindikasikan adanya pergeseran yang lebih struktural serta potensi pertumbuhan yang terbatas dalam permintaan batubara China.
Tanpa strategi diversifikasi yang jelas, sektor ini berisiko memasuki periode stagnasi berkepanjangan di tengah gelombang transisi energi global,.
“Bertindak sekarang memungkinkan Indonesia mengubah posisi kuatnya saat ini menjadi fondasi ketahanan ekonomi dan fiskal jangka panjang. Apalagi, produsen batubara Indonesia masih dapat memanfaatkan neraca keuangan mereka yang relatif sehat untuk melakukan diversifikasi dan menjalankan transisi secara kredibel,” Hazel menegaskan.


























