
Jakarta, Petrominer – Jika Anda merasakan hawa dan cuaca panas belakangan ini, ini mungkin salah satu penyebabnya. Indonesia menempati peringkat ketiga secara global dan pertama di Asia dalam hal peningkatan jumlah hari panas sejak disepakatinya Perjanjian Paris, dengan kenaikan 18 hari panas per tahun.
Untuk itu, berhati-hatilah. Karena, semakin seringnya hari dengan suhu ekstrem dapat memicu krisis kesehatan, kekeringan, dan penurunan produktivitas di berbagai sektor. Pemerintah seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, harus lebih serius memenuhi mandat pemangkasan emisi Perjanjian Paris, bahkan lebih ambisius lagi.
Laporan terbaru dari Climate Central dan World Weather Attribution (WWA), yang berjudul “Ten Years of the Paris Agreement: The Present and Future of Extreme Heat” menjelaskan bahwa sebelum Perjanjian Paris, pemanasan global diperkirakan menyentuh 4°C yang berdampak pada meningkatnya hari panas hingga rata-rata 114 hari per tahun. Meski negara-negara di dunia memenuhi rencana pengurangan emisi sesuai Perjanjian Paris, pemanasan global tetap akan mencapai 2,6°C dengan harga panas hanya berkurang 57 hari.
Hal yang sama juga akan terjadi di Indonesia. Baik pada pemanasan 2,6°C dan 4°C, Indonesia menjadi jumlah hari terpanas di Asia dan ketiga di dunia, yakni masing-masing 134 hari dan 234 hari berturut-turut. Saat ini pun, rata-rata tahunan hari panas Indonesia telah meningkat dari 45 hari pada 2005-2014 menjadi 77 hari pada 2015-2024, atau naik 18 hari.

Padahal, sejak tahun 2015, kenaikan suhu 0,3°C akan menambah rata-rata 11 hari panas secara global dan membuat gelombang panas lebih sering terjadi.
“Dampak gelombang panas baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak negara belum siap menghadapi kondisi dengan pemanasan 1,3°C, apalagi 2,6°C seperti yang diperkirakan, bahkan jika seluruh janji pengurangan emisi terpenuhi. Diperlukan pemotongan emisi yang lebih cepat, lebih besar, dan lebih ambisius agar generasi mendatang dapat hidup dalam iklim yang aman,” ujar Wakil Presiden Bidang Sains Climate Central, Kristina Dahl.
Dari Meksiko, Asia Selatan, hingga Eropa Selatan, peningkatan jumlah hari panas terjadi hampir di seluruh dunia. Wilayah tropis seperti Amazon dan Asia Selatan juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam frekuensi hari panas ekstrem, memperlihatkan bahwa negara-negara beriklim tropis menghadapi risiko tertinggi terhadap gelombang panas.
Semakin tinggi pemanasan global, semakin ekstrem panas yang dialami. Bahkan, sedikit kenaikan suhu rata-rata global dapat memicu lonjakan besar dalam intensitas gelombang panas di berbagai wilayah. Laporan menegaskan pentingnya membatasi pemanasan global di bawah 1,5-2°C untuk mencegah bencana panas yang meluas.
Laporan tersebut juga menegaskan, gelombang panas ekstrem sering kali diabaikan sebagai bencana, sehingga banyak komunitas tetap berada dalam risiko akibat kurangnya definisi, kerangka hukum, dan data dampak yang jelas. Padahal, panas ekstrem memperburuk berbagai risiko, membebani sistem kesehatan, tenaga kerja, mata pencaharian, dan infrastruktur, sementara pendanaan adaptasi masih jauh dari cukup, terutama bagi kelompok yang paling rentan. Selain itu, kenaikan suhu yang berkelanjutan juga mengancam ketahanan pangan, terutama di wilayah tropis dan daerah dengan sistem pertanian rentan terhadap kekeringan.
Solusi seperti penghijauan kota yang mengurangi panas sekaligus banjir, serta perlindungan tenaga kerja yang menjaga kesehatan dan produktivitas, menjadi kunci untuk mencapai ketahanan yang benar-benar transformatif dan inklusif. Namun, cara paling efektif untuk mengatasinya yakni dengan bertransisi dari minyak, gas, dan batu bara yang merupakan penyebab utama krisis iklim.























