Butuh Konsistensi Kebijakan untuk Ambisi 100 Persen EBT

0
298
Proyek pengembangan panasbumi di Muara Laboh, Solok Selatan, Sumatera Barat. (Supreme Energy)

Jakarta, Petrominer – Satu tahun setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, sudah saatnya Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah nyata untuk mewujudkan ambisinya menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia dengan mencapai 100 persen energi terbarukan (EBT) hingga tahun 2035. Konsistensi target dan regulasi, hingga pengadaan EBT yang transparan, menjadi kunci untuk merealisasikan ambisi tersebut.

Policy and Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, mengatakan kebijakan ketenagalistrikan menjadi hal yang sangat penting dalam mempercepat transisi energi di Indonesia. Oleh sebab itu, komitmen publik Presiden Prabowo untuk mencapai 100 persen EBT perlu diterjemahkan dalam dokumen resmi kebijakan energi nasional secara konsisten.

“Hal ini penting karena konsistensi kebijakan akan mempermudah perencanaan dan menjadi sinyal kuat untuk mendorong masuknya investasi ke tanah air,” kata Wicaksono dalam CERAH Expert Panel “Menakar Konsistensi Kebijakan Transisi Energi Presiden Prabowo: Bagaimana Indonesia Bisa Capai 100% Energi Terbarukan?” Jum’at (17/10).

Menurutnya, Indonesia memiliki modal untuk bisa mempercepat proses transisi energi. Namun, lagi-lagi polical will yang kuat harus diterjemahkan dalam kebijakan yang riil agar wacana tersebut dapat tereksekusi.

“Oleh karenanya, Pemerintah perlu merevisi agar kebijakan-kebijakan yang ada menjadi selaras. Selain itu, Pemerintah harus memperkuat peta jalan dekarbonisasi yang sudah ada,” tegas Wicaksono.

Saat ini, kebijakan kelistrikan nasional belum selaras. Pasalnya, target bauran EBT dipatok berbeda-beda dalam dokumen perencanaan ketenagalistrikan. Dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN) menetapkan target bauran energi 19-23 persen pada tahun 2030. Sementara Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 29,4 persen, dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 mematok 34,3 persen.

“Perbedaan ini justru dapat menciptakan kebingungan,” tandasnya.

Proyeksi kapasitas pembangkit tenaga listrik (dalam gigawatt). (Sumber: RUKN 2025)

Dokumen perencanaan kelistrikan tersebut juga masih melanjutkan ketergantungan pada energi fosil dengan pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan co-firing biomassa pada PLTU batubara. Tak hanya meningkatkan risiko deforestasi, perpanjangan operasi PLTU dengan teknologi-teknologi tersebut akan menghambat masuknya pembangkit listrik EBT.

Pensiun Dini PLTU

Research & Engagement Lead Indonesia Energy Transition IEEFA, Mutya Yustika, menegaskan bahwa pensiun dini PLTU menjadi syarat mutlak untuk mencapai 100 persen EBT. Apalagi, kapasitas PLTU sudah berlebih dan kini beroperasi di bawah batas minimal yang ditetap dalam perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PT PLN (Persero).

Tak hanya itu, biaya pengadaan batubara dan perawatan PLTU terus naik sejak tahun 2020. PLN tercatat membayarkan US$ 4-5 sen per kilowatt hour (kWh) untuk pembelian batubara PLTU, naik hampir 40 persen dari tahun 2020.

“PLN harus mempercepat transisi dari energi berbasis bahan bakar fosil termasuk PLTU untuk menghindari volatilitas harga. Pensiun PLTU juga dapat membantu Indonesia untuk mengurangi beban ekonomi dan lingkungan di masa depan, mengingat beban subsidi listrik cenderung terus meningkat,” ujar Mutya.

Menurutnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang peta jalan transisi energi di sektor ketenagalistrikan dapat menjadi modal transisi dari batubara dan energi fosil lainnya ke EBT. Namun, beleid tersebut perlu diperbaiki karena belum memuat peta jalan yang jelas mengenai pensiun PLTU, tidak adanya daftar kelayakan aset, serta eksekusi dari progres yang masih terbatas.

Sementara, Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia EMBER, Dody Setiawan, menambahkan bahwa Pemerintah perlu memperbaiki proses pengadaan pembangkit listrik EBT untuk mempercepat pembangunannya. Sebab, ada beberapa proses pengadaan yang tidak sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

“Walaupun mekanisme tender atau pemilikan langsung telah diatur paling lama 180 hari, dari penawaran hingga proses jual beli listrik (PJBL), namun kenyataannya banyak yang melewati 180 hari dan tidak ada konsekuensinya,” ungkap Dody.

Perbaikan ini diperlukan, mengingat dalam lima tahun ke depan Indonesia butuh membangun PLTS dan PLTB dengan kapasitas rata-rata per tahun sebesar 868 mega watt (MW). Di sisi lain, sebagian besar perusahaan batubara saat ini mulai melirik bisnis di sektor EBT. Pemerintah bahkan telah menyatakan potensi investasi di sektor EBT cukup besar pada 2025-2035 mencapai Rp 1.566,1 triliun.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here