Wamen ESDM: PLTN Bukan Lagi Opsi Terakhir

0
207
Yuliot Tanjung.

Jakarta, Petrominer – Pemerintah terus memperkuat langkah menuju Net Zero Emission 2060 melalui berbagai sumber energi bersih, termasuk energi nuklir. Kini, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kini dipandang sebagai salah satu opsi strategis yang siap berperan penting mendukung upaya transisi menuju masa depan energi yang berkelanjutan dan ketahanan energi nasional.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menegaskan bahwa pengembangan PLTN ini sejalan dengan arah kebijakan nasional dan Asta Cita. Utamanya butir kedua, yang menekankan pentingnya memperkuat pertahanan dan keamanan, sekaligus mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, serta pengembangan ekonomi hijau dan biru.

“PLTN sebagai salah satu opsi strategis dalam peta transisi energi nasional dalam mencapai Net Zero Emission 2060. PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional,” ujar Yuliot saat menjadi pembicara kunci pada acara Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Executive Meeting, Senin (27/10).

Menurutnya, Indonesia sudah memiliki visi untuk mengembangkan tenaga nuklir sejak awal 1960-an. Langkah ini diawali dengan pembangunan tiga reaktor riset, yaitu Reaktor Triga di Bandung dengan kapasitas 2 megawat (MW), Reaktor Kartini di Yogyakarta (100 kW), dan Reaktor Serpong di Tangerang Selatan (30 MW).

Lebih lanjut, Wamen menyampaikan bahwa pengembangan tenaga nuklir di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat. Mulai dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang Ketenaganukliran, hingga tercantumnya arah pembangunan PLTN dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional.

“Dalam PP Nomor 45 Tahun 2025, PLTN tidak lagi dianggap sebagai opsi terakhir, melainkan sebagai bagian penting dari perencanaan energi nasional,” tegasnya.

Seluruh dokumen tersebut juga menegaskan komitmen Indonesia untuk mengoperasikan PLTN pertama tahun 2032 dan mencapai kapasitas 44 gigawatt (GW) pada tahun 2060. Dari total rencana 44 GW, sekitar 35 MW akan dialokasikan untuk kebutuhan listrik umum, sementara 9 GW lainnya ditujukan bagi produksi hidrogen nasional,.

Berdasarkan PP tersebut, porsi energi nuklir dalam bauran energi nasional diproyeksikan naik menjadi 5 persen tahun 2030, dan mencapai 11 persen di tahun 2060.

Tantangan

Meski prospeknya besar, Yuliot mengakui bahwa pengembangan PLTN tidak lepas dari tantangan, terutama dari sisi pendanaan dan waktu pembangunan. Biaya investasi untuk satu unit PLTN dapat mencapai US$ 3,8 miliar, dengan waktu konstruksi sekitar 4-5 tahun.

Selain itu, kekhawatiran masyarakat terhadap risiko bencana alam juga menjadi perhatian serius pemerintah. Pemerintah akan memperhatikan penuh mitigasi dan pengawasan yang ketat, serta kerja sama internasional untuk memastikan operasional melalui BAPETEN.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here