Director of Public Affairs Praxis PR, Sofyan Herbowo.

Jakarta, Petrominer – Diskursus mengenai program hilirisasi mineral dan batubara (minerba) di Indonesia masih banyak direlasikan dengan persoalan politik serta kebijakan makro pemerintah. Dalam diskursus ini masih terjadi kesenjangan narasi isu hilirisasi antara pemerintah dan masyarakat.

Demikian salah satu kesimpulan dari penelitian PraxiSurvey IV bertajuk “Sentimen Publik Terhadap Kebijakan Hilirisasi Minerba di Indonesia Tahun 2024”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus kata kunci (keyword) hilirisasi yang berasal dari percakapan warganet pada platform Twitter (X), Facebook (Fanpage), Youtube, Instagram, dan TikTok  selama periode 1 Januari – 30 Juni 2024.

Director of Public Affairs Praxis PR, Sofyan Herbowo, menjelaskan bahwa secara umum, dari survei ini percakapan mayoritas terjadi pada platform X sebesar 40,45% dengan didominasi percakapan bersentimen negatif. Percakapan lainnya terjadi juga di YouTube (28,76%), Instagram (21,20%), Fanpage Facebook (5,6%), dan TikTok (3,91%).

“Secara gender, percakapan didominasi oleh kelompok pria yang didominasi oleh generasi milenial atau Y. Dalam percakapan isu hilirisasi, akun unique mendominasi percakapan sebesar 39% dan akun cyborg serta robot masing-masing 35% dan 26%,” ungkap Sofyan, Jum’at (2/8).

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan untuk memotret sejauh mana persepsi publik terhadap narasi kebijakan hilirisasi minerba di Indonesia selama tahun 2024. Dalam survei ini terdapat 26.142 percakapan dengan dominasi percakapan bersentimen negatif.

“Hilirisasi adalah salah satu lema yang populer di publik, merujuk pada kebijakan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil alam melalui berbagai langkah turunan,” kata Sofyan.

Berdasarkan hasil survei ditemukan adanya kesenjangan narasi yang mengakibatkan perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat terhadap program hilirisasi minerba. Dalam sosialisasinya, pemerintah masih mengedepankan isu pertumbuhan ekonomi dan penciptaan nilai tambah ekonomi sebagai manfaat dari program hilirisasi. Sedangkan narasi yang muncul dari masyarakat sipil terkait hilirisasi adalah persoalan-persoalan yang menyangkut ruang hidup, lingkungan-sosial, dan eksistensi masyarakat adat.

“Kami memahami bahwa hilirisasi memiliki manfaat secara jangka panjang. Sedangkan yang dinarasikan oleh masyarakat sipil saat ini adalah dampak negatif yang sedang dirasakan sekarang. Artinya, memang ada kesenjangan yang cukup besar antara narasi pemerintah dan masyarakat sipil yang menyuarakan keluhan dari masyarakat terdampak,” ungkap Sofyan.

Dari hasil survei ini, ada rekomendasi strategis bagi pemerintah, industri maupun kelompok masyarakat sipil. Dalam hal ini, perlu disusun dan dibangun narasi tentang hilirisasi minerba yang tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi tapi harus memperhatikan biaya eksternalitas serta dampak hilirisasi seperti dampak lingkungan, sosial, dan lain-lain.

“Kami juga menyarankan agar dibuka ruang dialog dengan para aktor dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini cukup kritis dengan kebijakan hilirisasi minerba. Tidak hanya itu, Para pelaku usaha pertambangan atau industri ekstraktif direkomendasikan untuk melakukan analisis dampak lingkungan dan sosial untuk menghindari kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) akibat praktik bisnisnya,” ujarnya.

Opini Pengamat

Sofyan menyebutkan bahwa survei tersebut juga telah dipaparkan dalam sebuah diskusi yang digelar secara hybrid, Rabu (31/7). Hadir sebagai pembedah adalah Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia; Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti; dan pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi.

Dalam kesempatan itu, Fahmy mengaminkan kajian SNA Praxis PR. Menurutnya, kesenjangan informasi tersebut timbul karena belum adanya pemahaman yang solid dari pemerintah mengenai konsep hilirisasi. Pasalnya, masing-masing kementerian masih mempunyai definisi sendiri dan berbeda tentang hilirisasi. Hal itu yang membuat terjadi kesenjangan narasi hilirisasi antara pemerintah dan publik.

“Kesenjangan narasi ini yang harus dijembatani dengan  strategi komunikasi yang komprehensif dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang ada,” kata Fahmy.

Hendra juga menyetujui pernyataan tersebut. Dia mengungkapkan bahwa IMA mendukung penuh agenda kebijakan hilirisasi pemerintah. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan pemahaman terhadap makna hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batubara.

“Publik melihatnya hilirisasi itu sebagai sesuatu yang disamaratakan. Padahal karakteristik dari masing-masing mineral dan bahkan batubara berbeda satu sama lain. Perbedaan karakteristik tersebut akan berpengaruh terhadap keekonomian,” jelas Hendara.

Menurutnya, publik juga cenderung melihat keberlangsungan dari hilirisasi mineral itu semata-mata peran dari industri pertambangan. Padahal, sejatinya keberhasilan proses hilirisasi itu juga dipengaruhi ketersediaan industri domestik yang bisa menyerap produk hilirisasi.

“Maka, kesenjangan pemahaman mengenai hilirisasi itu sendiri yang perlu dikaji kembali,” tegas Hendra.

Esther turut mengapresiasi upaya Praxis PR dalam memetakan persepsi publik terhadap kebijakan hilirisasi minerba.

“Hilirisasi meningkatkan investasi dan kapasitas ekonomi yang ditunjukkan dengan kenaikan nilai investasi dan produk domestik bruto, tetapi belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi,” ungkapnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here