
Jakarta, Petrominer – Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Center for Global Sustainability (CGS) Universitas Maryland meluncurkan dua kajian terbaru yang berfokus pada strategi untuk mencapai transisi energi bersih yang berhasil di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa memaparkan, laporan pertama menilai PLTU yang sudah beroperasi dan akan dibangun. Studi ini untuk menentukan prioritas PLTU yang dapat diakhiri operasinya secara dini sejalan dengan jalur pembatasan suhu bumi di bawah 1,5°C. Studi dilakukan dengan menggabungkan global integrated assessment model (GCAM), model sistem tenaga listrik (PLEXOS), dan metode analisis dari bawah ke atas (bottom-up).
“Sementara laporan kedua memuat basis data kawasan industri di Indonesia. Ini diharapkan dapat memperluas inisiatif Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (comprehensive investment and policy plan, CIPP) dalam Just Energy Transition Partnership (JETP),” ungkap Fabby saat meluncurkan kedua laporan tersebut secara simbolis, Selasa (4/6).
Menurutnya, studi ini menganalisis pembangkit listrik dalam jaringan (on grid) dan di luar jaringan (off grid) PLN yang menggunakan beberapa strategi untuk mengurangi kapasitas PLTU, operasi PLTU yang fleksibel, pemensiunan dini, pembakaran biomassa, substitusi energi terbarukan, pembatalan konstruksi, koneksi jaringan, dan penyimpanan karbon.
Studi ini juga memberikan strategi bottom up coal phase down yaitu mengusulkan strategi prioritas untuk tiap unit PLTU berdasarkan karakteristik PLTU dan kesesuaian peran PLTU untuk kebutuhan listrik di sistem masing-masing.
“Rekomendasi strategi ini dapat melengkapi jalur JETP yang sudah ada saat ini,” tegas Fabby.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur CGS, Nate Hulman, mengungkapkan bahwa acara peluncuran kajian ini menjadi platform untuk mendiskusikan cara Indonesia dapat mengimplementasikan transisi energi bersih dan berkontribusi terhadap target global 1,5 derajat Celcius.
“Penelitian baru kami menawarkan strategi yang ambisius dan transformatif yang sangat penting untuk memberikan kerangka kerja holistik baru agar strategi transisi selaras dengan target 1,5°C dengan mempertimbangkan tujuan nasional,” ujar Nate Hulman.
Laporan 1.5°C-Aligned Coal Power Transition Pathways in Indonesia menemukan bahwa antara tahun 2025 dan 2050, penggunaan co-firing biomassa dengan sumber berkelanjutan pada 80 unit PLTU batubara (dengan kapasitas 13 GW) off-grid dapat berkontribusi terhadap hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif. Sementara pengakhiran operasional secara dini PLTU batubara yang diterapkan pada 105 unit PLTU (25 GW) dapat berkontribusi terhadap hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik on-grid.
Untuk mencapai percepatan transisi energi batubara ini diperlukan transformasi yang signifikan pada sistem ketenagalistrikan Indonesia. Mengintegrasikan sumber energi terbarukan yang semakin meningkat akan membutuhkan teknologi penyimpanan baru, perluasan infrastruktur jaringan listrik, dan operasi yang stabil dan fleksibel.
Analisis tersebut mengungkapkan bahwa biaya pembangkitan listrik (biaya operasi pembangkit dan bahan bakar) turun hingga 21 persen pada tahun 2030 dan 75 persen pada tahun 2050, serta mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan hingga 50 persen pada tahun 2040. Di sisi lain, terdapat kebutuhan investasi tambahan untuk implementasi dari strategi transisi.
“Investasi yang signifikan dalam teknologi penyimpanan baru, perluasan jaringan listrik, serta operasi yang stabil dan fleksibel sangat penting untuk membangun sistem tenaga listrik yang tangguh di Indonesia yang berpusat pada energi terbarukan,” ujar Maria A. Borrero, CGS Research Associate dan penulis utama laporan tersebut.
Sementara itu, Jiehong Lou, Asisten Direktur Riset di Center for Global Sustainability menyebutkan bahwa laporan kedua berjudul Industrial Parks in Indonesia: Challenges and Opportunities for Sustainable Industrial Development memuat basis data 79 kawasan industri dengan total kapasitas listrik sebesar 23,07 GW.
“Basis data ini mengatasi kesenjangan pengetahuan yang kritis mengenai kawasan industri, secara signifikan meningkatkan ketersediaan data yang sangat penting untuk memahami permintaan dan membuat keputusan yang tepat mengenai pengembangan batubara captive dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan penelitian kawasan industri,” ujar Jiehong Lou.