Pemerintah dan DPR diingatkan bahwa skema Power Wheeling jelas tidak adil secara moral Pancasila, inskonstitusional serta akan merugikan rakyat dan negara.

Jakarta, Petrominer – Pemerintah dan DPR diingatkan bahwa penerapan skema power wheeling (PW) jelas tidak adil secara moral Pancasila, inkonstitusional. Pemerintah, utamanya Pemerintahan baru mendatang, didesak  agar skema yang tidak adil, liberal, pro oligarki dan pro asing ini tidak diimplementasikan dalam Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET).

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, dalam webinar dengan tema “Tolak Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET!” Selasa (3/9).

Menurut Marwan, penerapan skema power wheeling tidak hanya melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku. Penerapan skema ini juga akan merugikan keuangan negara dan BUMN, serta akan menambah beban biaya hidup rakyat.

Dia memaparkan, ada empat aspek Legal-Konstitusional yang menjadi dasar untuk menolak penerapan skema power wheeling.

Pertama adalah karena bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam hal ini negara diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema power wheeling diterapkan, maka otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta.

Kedua, Putusan MK No.36/2012 telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.

Ketiga, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema power wheeling juga inkonstitusional, dan harus ditolak.

Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Alasannya, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.

“Kebijakan unbundling dengan kompetisi terbuka, termasuk skema power wheeling, merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi,” ujar Marwan.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa ecara sosial, melalui kebijakan liberal ini, negara justru berlaku tidak adil dan bekerja memihak swasta. Karena memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing, menikmati keuntungan besar.

Namun pada saat yang sama menghisap rakyat untuk membayar energi listrik lebih mahal. Padahal, sesuai konstitusi, kesempatan tersebut seharusnya diberikan kepada BUMN, yang menurut konstitusi adalah pemegang hak monopoli.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here