PLTU Indramayu 3x330 MW.

Jakarta, Petrominer – Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menyatakan bahwa penggunaan High Efficiency and Low Emissions (HELE) di pembangkit listrik batubara bukan solusi untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK). Pasalnya, penggunaan teknologi ini hanya akan mengurangi emisi GRK 3 persen.

Mengutip perhitungan emisi yang dilakukan oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Adila menjelaskan bahwa penggunaan teknologi HELE pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru hanya akan meningkatkan emisi dari PLTU sebesar 85 persen. Sementara jika PLTU baru tidak menggunakan HELE, total emisinya 90 peren.

“Sehingga perbedaan peningkatan total emisi dari PLTU ketika PLTU baru menggunakan HELE adalah 3 persen,” ungkapnya dalam Media Briefing Secara Daring, Senin (30/3).

Karena itulah, Adila menegaskan bahwa penggunaan HELE bukanlah solusi dalam program pengurangan emisi GRK. Penggunaan Ultra Super Critical (USC) hanya akan meningkatkan efisiensi berupa penghematan bahan bakar dan operating cost, sehingga lebih menguntungkan PLTU. Sementara pengurangan emisi GRK-nya sangat sedikit.

Dia mengakui penggunaan HELE bisa meningkatkan efisiensi pembangkit 35-44 persen. Mulai dari Subcritical (PLTU tua dan kecil) yang menambah efisiensi 35-38 persen, Super Critical (SC) 40-42 persen, dan Ultra super critical (USC) efisiensi 43-44 persen.

Menurut Adila, satu-satunya teknologi yang mampu menekan emisi PLTU cukup besar adalah teknologi Carbon Capture Storage (CCS). Teknologi ini dapat mengurangi emisi PLTU dengan menyimpan emisi CO2 di lapisan bawah tanah.

Namun, biaya untuk teknologi ini masih terlampau mahal. Adila memperkirakan, biaya yang diperlukan sekitar Rp 17,6 – 24 miliar per megawatt (MW). Biaya itu di luar biaya pembangunan pembangkit.

Selain itu, penggunaannya pun pada PLTU batubara masih terbatas. Contohnya PLTU Petra Nova CCUS di Texas, Amerika Serikat. Pemanfaatan CCS di pembangkit ini mampu menampung emisi 6 juta ton CO2. Padahal, PLTU batubara berkapasitas 1.000 MW bisa menghasilkan emisi 6 juta ton CO2 per tahun

Adila membeberkan PLTU dengan total kapasitas 28.000 MW yang saat ini beroperasi sedikitnya menghasikan emisi sebesar 168 juta ton per tahun. Jumlah ini setara dengan emisi yang dilepaskan 80 juta mobil per tahunnya.

Tidak hanya itu, Indonesia akan membangun PLTU baru sebesar 27.000 MW. Ini artinya aka nada tambahan emisi karbon sebanyak 162 juta ton per tahun, atau setara dengan emisi dari 77 juta mobil per tahunnya.

“Indonesia tetap akan melakukan penambahan jumlah PLTU batubara hingga tahun 2028. Penambahan PLTU batubara ini artinya emisi GRK akan terkunci hingga 40 tahun mendatang,” tegasnya.

Adila pun menyarankan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Pemerintah. Di antaranya adalah penyesuaian dalam RUPTL 2020-2029 untuk tidak lagi berinvestasi pada energi batubara yang berisiko tinggi dan tidak ekonomis. Sementara itu, secara bersamaan, Pemerintah harus beralih dari energi batubara sesuai dengan rekomendasi IPPC, yaitu pengurangan PLTU batubara sebanyak 80 persen pada tahun 2030 untuk mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5 derajat C dalam Perjanjian Paris.

Dia menegaskan, Pemerintah harus segera melakukan transisi energi dan berinvestasi pada pembangkit energi terbarukan yang harganya semakin murah dan potensinya sangat besar di Indonesia. Ini diperlukan untuk menyelaraskan rencana kelistrikan Indonesia dengan komitmen iklim.

“Pemerintah juga harus meletakkan krisis iklim sebagai acuan dalam menyusun kebijakan kelistrikan. Krisis iklim akan berdampak terhadap ekonomi, layaknya bencana pandemi Covid-19. Pembangunan ekonomi akan gagal karena besarnya kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh krisis iklim,” ungkap Adila.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here