Jakarta, Petrominer – Peristiwa terbakarnya Terminal BBM Milik Pertamina di Plumpang menyisakan duka terhadap korban meninggal, luka-luka dan korban lainnya serta menyisakan masalah bagi Pemerintah dan Pertamina. Presiden Jokowi, Wakil Presiden Ma’aruf Amin, Menteri Kordinator Marinves Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri BUMN Erick Tohir secara bergantian telah memberikan pendapat terkait apa yang harus dilakukan terhadap terminal atau Depo BBM Plumpang ini.
Terjadi perbedaan pendapat dan perbedaan pemikiran diantara pejabat pemerintah dalam menyikapi persoalan ini. Presiden menginginkan ada solusi segera, Wapres dan Mentri BUMN berpendapat menggeser atau relokasi Depo BBM adalah jalan solusi, sementara Menko Marves Luhut Panjaitan mengatakan warga yang tidak berhak di sana atau Penghuni Tanpa Hak harus di relokasi dari areal Plumpang.
Ferdinand Hutahaean,
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia
——————————————–
Kalau kita tinjau dari sejarah berdirinya Depo BBM Plumpang, memang Depo ini didirikan sudah memenuhi standar internasional dan tidak menyalahi aturan atau ketentuan apapun. Depo BBM pun berdiri di lokasi yang benar dan di tanah milik Pemerintah atau milik Pertamina. Maka Depo ini tidak salah dan tidak didirikan di tengah lingkungan, tapi masyarakatlah yang mendesak mendekat menghuni tanpa hak tanah sekitar Depo yang masih milik Pertamina.
Terjadi pembiaran yang cukup lama sehingga masyarakat penghuni tanpa hak semakin banyak dan terus bertambah tahun demi tahun. Pembiaran inilah biang masalah dari semua masalah yang muncul seperti sekarang ini.
Dari sudut hukum atau aturan, Depo ini telah berdiri dan dibangun berlandaskan semua aturan yang wajib dipenuhi oleh Pertamina. Semua mengetahui bahwa aturan di sektor Minyak dan Gas amatlah sangat ketat. Selain pemenuhan syarat, Pertamina jelas memiliki landasan hukum dan Pertamina memiliki bukti hukum pemilikan tanah Depo tersebut. Maka seharusnya sesuai aturan, masyarakat tidak boleh dan tidak diperbolehkan dengan alasan apapun untuk menghuni, mendiami dan membangun bangunan apapun di tanah sekitar Terminal BBM apalagi tanah yang bukan miliknya.
Dalam hal ini Menko Marves Luhut Panjaitan sudah tepat dan benar berpendapat, yang harus direlokasi itu adalah masyarakat yang tidak berhak atau Penghuni Tanpa Hak.
Namun demikian, tidak semata semua kebijakan hanya terkait soal aturan dan hukum. Tampaknya Wakil Presiden dan Menteri BUMN lebih melihat dari sisi sosial atau mungkin juga mengandung sisi politis. Karena masyarakat di sekitar Plumpang ini jumlahnya sangat banyak. Sangat berguna suaranya untuk politik. Maka keluarlah pendapat yang terkesan hanya populis, menelengkan warga meski harus mengalahkan aturan dan dengan kewenangan bisa memerintah Pertamina merelokasi Depo BBM ini meski dengan biaya tinggi dan kesulitan yang tinggi.
Merelokasi Depo BBM sama saja menambah beban biaya triliunan bagi Pertamina dan mungkin akan menaikkan biaya operasional setiap tahun bagi Pertamina. Padahal, Depo BBM Plumpang ini biaya operasionalnya sangat efisien dan murah.
Baiklah kita abaikan saja dulu pendapat para pejabat pemerintah itu, karena yang disampaikan masih sebatas pendapat dan belum menjadi keputusan atau kebijakan akhir Pemerintah. Pasalnya, hal ini belum dibahas secara komprehensif dalam rapat kabinet yang harus dipimpin oleh Presiden Jokowi.
Apapun kebijakannya, apakah akan merelokasi Depo BBM atau merelokasi warga, tentu butuh waktu dan tidak mungkin dilakukan dalam hitungan bulan. Merelokasi Depo dan melalukan pembangunan Depo mungkin akan butuh waktu 4-5 tahun dengan biaya triliunan rupiah baru selesai. Sedangkan merelokasi warga mungkin akan butuh waktu 2-3 tahun karena harus membangun fasilitas hunian bagi warga yang harus direlokasi.
Dengan demikian, selama masa proses pengambilan kebijakan dan proses eksekusi kebijakan, Depo BBM Plumpang saat peristiwa kebakaran dan sekarang masih sama. Ada warga yang dekat dengan Depo meski mereka menghuni tanpa hak. Dengan kondisi yang sama, maka peristiwa sama akan mungkin terjadi terjadi lagi kebakaran yang sama dan juga memakan korban.
Lantas apa solusi mendesak yang harus dilakukan? Jawabannya adalah menyediakan buffer zone, zona aman, zona pembatas antara tembok terluar Depo BBM dengan masyarakat. Buffer zone ini setidaknya harus ada sekitar 50 meter keliling Depo. Masyarakat harus dijauhkan sejauh 50 meter dari pagar terluar Depo BBM Plumpang.
Jika dihitung secara kasar, maka dibutuhkan tanah sekitar 10 Ha mengelilingi Depo yang diperkirakan sepanjang 2 km keliling Depo. Tanah ini masih milik Pertamina secara sah. Pemerintah harus berani tegas dan bertindak untuk melaksanakan ini. Tidak. Oleh ragu karena ini adalah solusi menghindari masalah.
Dengan demikian, Pemerintah di bawah Kemenko Marves yang membawahi energi sebaiknya segera membentuk tim evaluasi atau kelompok kerja yang mendata berapa banyak jumlah Penghuni Tanpa Hak yang mendiami tanah Pertamina sejauh 50 meter dari tembok terluar sepanjang keliling Depo BBM Plumpang. Jumlah penduduk ini harus segera dipindahkan ke rumah susun yang ada dan tanah sekitar Depo BBM dikosongkan menjadi buffer zone.
Solusi ini bukan hanya menjadi solusi jangka pendek tapi juga bisa sekaligus menjadi solusi jangka panjang atau solusi permanen. Dan penduduk di luar itu bisa dilegalkan dengan cara-cara yang memenuhi aturan. Percuma bicara pemindahan atau relokasi Terminal BBM apabila situasi dan kondisi tidak berubah selama masa proses pengambilan kebijakan dan eksekusi kebijakan.
Semoga artikel ini bisa menjadi masukan kecil yang membantu pemerintah dalam memutuskan kebijakan terbaik bagi bangsa dan negara serta bagi masyarakat Jakarta dan masyarakat sekitar Depo BBM Plumpang.