Pipa penyalur uap panasbumi ke PLTP Darajat, Garut, Jawa Barat.

Jakarta, Petrominer — Rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM) Ignasius Jonan untuk menekan harga listrik energi baru terbarukan (EBT) dinilai salah sasaran. Alasannya, porsi EBT dibandingkan sumber energi lain dalam sistem pembangkitan listrik di Indonesia sangatlah kecil.

Pengamat menyarankan agar Pemerintah mencari cara lain jika ingin mengurangi subsidi di pembangkitan listrik. Misalnya mengurangi harga listrik dari pembangkit berbahan bakar minyak (BBM). Apalagi, pemakaian BBM ini dinilai telah membuat PT PLN (Persero) menjadi tidak efisien.

“Kalau mau mengurangi subsidi, harusnya pada energi yang porsinya besar namun telah membuat PLN tidak efisien, seperti solar. Kalau EBT yang dikurangi, selain porsinya kecil, juga kontraproduktif,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, Sabtu (28/1).

Menurut Komaidi, porsi EBT sampai saat ini secara total hanya sekitar 14 persen terhadap keseluruhan energi pembangkit listrik. EBT dimaksud sudah termasuk tenaga angin, air, matahari, dan panasbumi. Terbanyak adalah air, yakni sekitar delapan persen. Hal ini bisa dimengerti, karena PLN memang sudah cukup lama membangun PLTA. Sedangkan panasbumi baru ada sekitar empat persen, dan sisanya adalah sumber EBT lain.

Itulah sebabnya, paparnya, pengurangan subsidi EBT secara maksimal pun tidak akan berdampak bagi keuangan negara. Namun sebaliknya, pengurangan subsidi sekecil apapun akan berdampak sangat siginifikan terhadap perkembangan EBT itu sendiri.

“Tujuan pemberian subsidi adalah untuk merangsang pertumbuhan EBT. Yang perlu dipahami, dalam kondisi subsidi saat ini saja perkembangan EBT lambat, apalagi kalau dikurangi. Jadi menurut saya strategi seperti itu harus dikonstruksikan ulang. Pemerintah jangan hanya berpikir jangka pendek, namun juga jangka panjang,” tegas Komaidi.

Sebaliknya, jika pemangkasan subsidi dilakukan terhadap solar, dampak positifnya sangat luar biasa. Komaidi mencontohkan, dalam kondisi infrastruktur belum matang saja, harga jual listrik yang dihasilkan panasbumi adalah Rp1.200 per kWh. Harga itu jauh lebih murah dibandingkan listrik yang dihasilkan pembangkit bertenaga solar, yang berada pada kisaran Rp3.400-4.000 per kWh.

“Jadi bisa dibayangkan, jika subsidi solar yang dipangkas dan dipakai untuk mendorong pertumbuhan EBT, maka akan terjadi penghematan luar biasa, baik bagi APBN maupun harga jual listrik,” jelasnya.

Dalam konteks itu Komaidi mengingatkan bahwa stigma EBT mahal adalah sama sekali keliru. Saat ini, EBT dianggap mahal karena memang infrastrukturnya belum berkembang dan kapasitas produksinya juga belum banyak. Cabang produksi apapun, jika dalam kondisi seperti EBT saat ini, tentu akan mahal pada tahap awal. Untuk membuatnya murah, tentu harus ditumbuhkan terlebih dahulu.

Dia melanjutkan, stigma mahal yang diberikan pada EBT adalah terkait dengan infrastruktur yang memang masih belum berkembang. Karena jangan lupa, untuk panasbumi misalnya, hampir semua sumber terdapat di daerah gunung. Untuk itu, Pemerintah hendaknya tidak menjadikan berbagai negara, termasuk Uni Emirat Arab, yang sebagian besar medannya adalah gurun pasir sebagai contoh. Karena, tentu saja tingkat kesulitan pembangunan infrastruktur lebih rendah dibandingkan gunung.

Rencana Menteri ESDM Ignasius Jonan menekan harga listrik dengan mengurangi subsidi EBT, terungkap pada Sidang ke-20 Dewan Energi Nasional (DEN). Seperti dilaporkan sebelumnya, Jonan akan mengeluarkan aturan baru soal harga EBT di setiap daerah. Tarif EBT dipatok tak boleh lebih dari 85 persen Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah.

Kondisi demikian seakan bertolak belakang dengan kebijakan beberapa negara yang mulai menjadikan EBT sebagai energi alternatif ramah lingkungan untuk menggantikan bahan bakar fosil dan batubara. Cina misalnya, yang selama ini dikenal sebagai penghasil utama batubara, bahkan sejak tahun 2015 mulai mengurangi penggunaannya. Pemakaian batubara turun sebesar 2,5 persen dan konsumsi turun 2,9 persen.

Kebijakan Pemerintah Cina terhadap energi ramah lingkungan itu sekaligus mematahkan prediksi bahwa puncak penggunaan batubara di Cina terjadi pada tahun 2020.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here