Saat Modal Kuat, Perusahaan Batubara Didesak untuk Segera Bertransisi

0
793
Ilustrasi tambang batubara.

Jakarta, Petrominer – Perusahaan tambang batubara di Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi usaha dan memulai transisi energi selagi masih memiliki kekuatan finansial. Pasalnya, perubahan dunia menuju energi hijau serta pemerintah yang kerap berorientasi jangka pendek dalam mencari pendapatan, berisiko menciptakan situasi yang lebih “kompleks” bagi industri batubara ke depannya.

Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) berjudul “Coal in Indonesia Paradox of Strength and Uncertainty,” yang diperoleh PETROMINER, Rabu (18/6).

Mengacu laporan ini, sektor pertambangan dan jasa batubara di Indonesia menghasilkan laba bersih hingga US$ 31,4 miliar selama 2019-2023, hanya kalah dari sektor perbankan. Sektor batubara juga seolah tidak terdampak tren penurunan permintaan global, dengan produksi terus naik dan mencapai rekor 836 juta ton pada tahun 2024, atau naik 7,9 persen dari tahun sebelumnya.

Meski begitu, ESI mengingatkan bahwa kondisi tersebut tidak akan berlangsung dalam jangka panjang. Kemampuan industri batubara menghasilkan keuntungan besar dalam beberapa tahun terakhir hanyalah lonjakan sementara, sebuah karakter industri komoditas yang kerap berfluktuasi, dan bukan keunggulan struktural. Apalagi periode harga tinggi yang berkepanjangan tampaknya sudah berlalu.

“Meski harga batubara masih di atas tingkatan pra-pandemi, nilainya telah turun lebih dari separuh sejak tahun 2022,” kata Hazel Ilango, principal dan pemimpin kajian transisi batubara Indonesia ESI.

Saat ini, sektor batubara memang menjadi fondasi bagi perekonomian Indonesia, yang berkontribusi signifikan pada penerimaan negara, pendapatan devisa, keuntungan korporasi, dan lapangan kerja. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) di tingkat nasional sekitar 3,6 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Malahan, di daerah-daerah penghasil batubara, kontribusi sektor ini mencapai 40 persen di Kalimantan Timur, 25 persen di Sumatra Selatan, dan 15 persen di Kalimantan Selatan. Namun, dengan temuan dalam laporan ini, kontribusi tersebut berpotensi terus berkurang dalam jangka panjang.

Dari hasil analisis SWOT terhadap 12 perusahaan batubara Indonesia, ESI menemukan ada beberapa faktor pendukung bagi produsen batubara untuk melakukan diversifikasi dan mengamankan bisnis untuk jangka panjang.  Di antaranya, sebagian besar tambang batubara merupakan aset mature yang mampu mempertahankan produksi dengan kebutuhan investasi yang relatif rendah, dan neraca keuangan yang sehat yang dapat menjadi penyangga likuiditas.

Profil risiko keuangan 11 perusahaan berada pada tingkat rendah hingga menengah, dengan rata-rata perbandingan utang dan ekuitas 21 persen, jauh lebih rendah dari perusahaan sejenis di dunia pada kisaran 101 persen.

“Gabungan faktor kepercayaan pasar pada sektor batu bara, kestabilan permintaan dan pasokan dalam jangka menengah, serta profitabilitas yang cukup terjaga, menempatkan Indonesia, eksportir batubara termal terbesar di dunia, pada posisi yang ideal untuk menggunakan arus kas saat ini guna merancang transisi yang lebih teratur.  Untuk itu, kami mendorong perusahaan tambang Indonesia untuk meninggalkan sikap wait-and-see,” tutur Putra Adhiguna, rekan penulis laporan tersebut.

Meski demikian, industri batubara menghadapi sejumlah risiko, seperti ketergantungan ekspor ke Chna dan India yang mencapai 63 persen pada tahun 2023, bisnis yang sangat mengandalkan batubara sebagai komoditas utama dan hanya bertopang pada segelintir tambang utama dalam produksinya. Konsentrasi keuntungan pun sangat tinggi dengan keuntungan US$ 31,4 miliar hanya dinikmati oleh 28 perusahaan.

Di sisi lain, regulasi pemerintah seperti kewajiban pasar domestik (DMO), retensi devisa (DHE), dan penyesuaian royalti yang lebih tinggi dibanding komoditas utama lainnya terus berjalan. Upaya pemerintah untuk meningkatkan pemasukan negara dalam jangka pendek dapat membuat perusahaan semakin enggan melakukan transisi.

“Menemukan insentif bagi sektor ini untuk beralih ke bisnis yang lebih berkelanjutan sangat penting agar perusahaan-perusahaan ini tetap dapat berkontribusi bagi masa depan ekonomi Indonesia dan daerah-daerah penghasil batubara,” ujar Putra.

Hanya segelintir perusahaan yang telah mengumumkan langkah parsial untuk mengurangi emisi, menjajaki energi terbarukan, dan ekspansi ke industri lain. Kebanyakan rencana-rencana ini masih pada tahapan awal dan belum menunjukkan pergeseran berarti.

“Perusahaan yang menunda perubahan demi mengejar keuntungan jangka pendek, atau hanya menunggu cadangan habis, justru akan membatasi fleksibilitasnya dan meningkatkan risiko jangka panjang,” kata Ilango.

Dia pun memperingatkan bahwa lanskap energi global tengah mengalami pergeseran. Di China, importir batubara terbesar dari Indonesia, lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listriknya dipenuhi oleh energi bersih. Ini menunjukkan arah yang tidak bisa lagi diabaikan oleh Indonesia dan harus segera direspons dengan strategis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here