Negara Kian Terbebani karena Rencana Ekspansi PLTG dalam RUPTL

0
596
PLTGU Riau 275 MW di Kawasan Industri Tenayan, Pekanbaru, Riau. Pembangkit listrik ini dioperasikan oleh PT Medco Ratch Power Riau, perusahaan patungan antara PT Medco Power Indonesia dan RATCH Group Public Company Limited.

Jakarta, Petrominer – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkapkan, rencana penambahan kapasitas PLTG dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2025-2034 sebesar 10,3 gigawatt (GW) diperkirakan membebani keuangan negara hingga US$ 60 miliar dalam kurun waktu yang sama. Hal ini lantaran harga gas yang fluktuatif akan berdampak pada biaya pembangkitan listrik.

Analis Keuangan Energi IEEFA, Mutya Yustika, mengatakan kenaikan harga gas selama ini telah membuat gas dua kali lebih mahal dibandingkan batubara, seperti terlihat dalam laporan keuangan PLN. Jika terus melanjutkan ekspansi pembangkit listrik gas skala besar, Indonesia berisiko terkunci pada beban finansial jangka panjang, yang ujungnya akan berimbas pada tarif listrik yang lebih mahal atau subsidi listrik yang lebih tinggi.

“Pemerintah akan perlu mengucurkan tambahan dana sekitar US$ 60 miliar pada periode 2025-2034 jika terus bergantung pada bahan bakar fosil alih-alih mendorong energi terbarukan yang lebih besar dalam bauran energi,” tulis Mutya dalam briefing note IEEFA tentang RUPTL 2025-2034 yang diterima PETROMINER, Senin (23/6).

Saat ini, dengan subsidi pemerintah, konsumen hanya terbebani tarif listrik rata-rata Rp 1.153 per kilowatt hour (kWh). Namun, biaya pembangkitan listrik yang sebenarnya telah mencapai Rp 1.732 per kWh. Penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis gas akan menaikkan biaya pembangkitan listrik hingga dua kali lipat pada tahun 2034.

Padahal di tahun 2024 lalu, Pemerintah telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 177 triliun (sekitar US$ 11 miliar) untuk subsidi dan kompensasi PLN. Angka ini meningkat 24 persen dibandingkan tahun 2023.

Di sisi lain, IEEFA mencatat kapasitas pembangkit listrik berbasis gas yang telah beroperasi belum dimanfaatkan secara optimal. Pada 2018-2024, Indonesia menaikkan kapasitas PLTG hingga 6,3 GW untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

Namun kenyataannya, PLTG tersebut justru tidak dimaksimalkan karena tingginya biaya dan terbatasnya pasokan gas. Bahkan, pada tahun lalu, PLTG hanya beroperasi 30 persen dari kapasitas penuhnya.

Energi Surya dan Angin

Sementara itu, pemanfaatan energi surya dan angin menunjukkan kinerja yang stabil meskipun kapasitas terpasangnya masih relatif rendah. Energi surya dan angin masing-masing beroperasi sebesar 20 persen dan 44 persen dari kapasitas penuhnya.

Menariknya, angka ini melampaui rata-rata global, di mana surya umumnya beroperasi pada 16,2 persen dan angin 36 persen. Kondisi ini menguatkan daya saing kedua teknologi tersebut sebagai solusi kemandirian energi yang dapat dibangun dalam skala besar.

Namun, RUPTL justru merencanakan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang lebih besar pada 2025-2029, yakni mencapai 12,7 GW (45 persen) dengan porsi gas 9,3 GW.

“RUPTL terbaru menunjukkan kemajuan pengembangan energi terbarukan. Meski demikian, porsi pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang signifikan, terutama gas, dalam lima tahun pertama menimbulkan kekhawatiran terkait apakah Indonesia dapat dengan cepat beralih ke energi bersih untuk memenuhi komitmen dekarbonisasi global,” jelas Mutya.

Alih-alih memperpanjang ketergantungan pada gas dan batubara, menurutnya, Indonesia seharusnya memprioritaskan ekspansi pembangkit listrik berbasis surya dan angin yang terbukti dapat dibangun dan ditingkatkan kapasitasnya dengan cepat. Keengganan Indonesia beralih ke energi terbarukan akan berimbas pada biaya listrik yang lebih tinggi dalam jangka panjang, aset energi fosil yang terlantar, dan hilangnya peluang investasi.

“Investor global dan perusahaan multinasional yang mencari komitmen energi bersih akan enggan menanamkan modal di Indonesia karena alokasi gas dan batubara yang cukup signifikan. Memprioritaskan energi terbarukan dalam lima tahun ke depan akan membuat Indonesia semakin kompetitif di pasar energi regional dan memperoleh manfaat dari percepatan transisi energi bersih global,” tegas Mutya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here