
Jakarta, Petrominer – Kebijakan Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan tarif impor 25 persen atas produk baja dan aluminium diperkirakan tidak akan berdampak langsung kepada Indonesia. Pasalnya, nilai ekspor produk baja Indonesia dengan nomor HS72 ke Amerika Serikat sangatlah kecil.
Meski begitu, kebijakan tarif impor AS tersebut diperkirakan bakal berdampak langsung terhadap situasi harga baja di pasar dalam negeri. Apalagi, di Indonesia, harga baja sangat dipengaruhi oleh situasi harga baja domestik di China dan juga harga ekspor Free on Board (FOB) China.
“Masalah akan terjadi, kalau Negeri Tirai Bambu tersebut mengalihkan ekspor yang sebelumnya ditujukan ke AS ke negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. Akibatnya, harga baja di Indonesia akan tertekan turun, kendati situasi tersebut hanya berlangsung sementara,” jelas Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE), Kementerian Perindustrian, Setia Diarta, kepada PETROMINER beberapa waktu lalu.
Jadi bagi Indonesia, menurut Diarta, dampaknya diprediksi relatif kecil dan kondisi tersebut hanya sesaat saja. Demikian juga dampak dari kebijakan Presiden Trump tersebut terhadap sektor hilir yang menggunakan bahan baku baja seperti produk otomotif dan konstruksi, diperkirakan akan sangat kecil.
Lebih lanjut, dia menyebutkan bahwa dampak tidak langsung bisa terasa apabila negara-negara eksportir produk otomotif dan konstruksi yang biasanya mengekspor produknya ke pasar AS terpaksa harus mengalihkan ekspornya ke negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia yang penduduknya sangat besar.
Selama ini, ekspor baja karbon Indonesia didominasi ke negara tujuan Uni Eropa (dengan pangsa 40 persen dari seluruh ekspor produk serupa) yang mencapai US$ 480 juta. Kebijakan ekspor karbon baja dari Indonesia dampaknya relatif terkendali, sehingga tidak berdampak langsung.
Beda halnya dengan ekspor produk stainless steel, produk besi, dan ferro alloy serta baja finished berbasis nikel ke China. Ekspor ini nilainya sangat besar mencapai lebih dari US$ 158 juta dari total ekspor baja US$ 258 juta.
Dengan begitu, apabila ekspor produk hilir stainless steel Indonesia ke AS terganggu, maka dampaknya akan dirasakan juga oleh para eksportir bahan baku stainless steel dari Indonesia. Hal tersebut dicermati dari komposisi jenis baja yang diekspor oleh China ke pasar AS.
Mitra Dagang ke-15
Hal senada juga dikemukakan oleh Wakil Ketua Komite Eksekutif Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Ismail Mandry.
Menurut Ismail, Indonesia sebenarnya juga terancam dengan pengenaan bea masuk impor baja dan aluminium ke pasar AS. Pasalnya saat ini, Indonesia menjadi mitra dagang ke-15 bagi AS dengan total impor ke pasar AS mencapai USS 19 miliar, posisi defisit neraca perdagangan Indonesia dengan AS.
“Sebagai salah satu mitra dagang AS yang posisinya cukup penting di urutan ke-15, maka saat ini AS sudah mengenakan surcharge. Kondisi ini dirasakan sangat berat bagi Indonesia, yang berusaha dengan keras menembus pasar AS,” papar Mandry sambil menjelaskan kepada PETROMINER bahwa nantinya defisit Indonesia dengan AS akan semakin lebar.
Sebagai mitra dagang utama AS yang mengalami defisit sangat besar, maka China dikenakan tarif impor 25 persen ditambah bea masuk tambahan lagi 20 persen, sehingga ekspor produk dari China ke AS totalnya kena 34 persen. Bahkan hari ini, AS mengenakan kembali penetapan tarif bea masuk ke China lebih dari 100 persen. China merupakan mitra dagang terbesar yang mengalami defisit paling besar dengan AS.
“Ini yang harus diwaspadai oleh Indonesia. Dengan pengenaan BM yang cukup tinggi ke pasar AS, maka pasar ASEAN termasuk Indonesia berpotensi dimasuki produk-produk yang tertolak masuk ke pasar AS,” ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa industri di dalam negeri tidak hanya menghadapi tantangan global, namun juga mengalami tekanan dari internal. Industri baja termasuk logam di dalam negeri tengah mencemati berbagai dinamika global dan geopolitik yang terjadi saat ini.
“Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi-regulasi yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif serta dapat membangun industri nasional yang tangguh dan progresif,” tegas Menperin.
Apabila dilihat dari kinerja sektor industri, Indonesia terus menunjukkan ketahanan yang baik. Salah satunya adalah industri logam di mana capaian realisasi investasi tahun 2024 adalah Rp 697,5 triliun, bertumbuh 23,4 persen dibandingkan tahun 2023. Data Kemenperin menunjukkan investasi terbesar tahun 2024 adalah dari industri logam dasar yang mencapai Rp 231,1 triliun.
Sedangkan apabila ditinjau dari subsektor seperti industri logam dasar dan industri lainnya termasuk otomotif trailer, dan semi-trailer juga turut menopang pertumbuhan industri. Tahun 2024, subsektor industri yang memberikan andil besar terhadap realisasi PMA, yaitu industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya senilai US$ 13,6 miliar atau berkontribusi 22,6 persen.


























[…] Baca: Kebijakan Tarif Impor AS Minim Pengaruhnya bagi Baja Indonesia […]