
Jakarta, Petrominer – Transisi energi semestinya bisa dijadikan momentum untuk dapat menjadikan pengelolaan energi nasional secara lebih mandiri. Namun hal ini diperkirakan bakal sulit terwujud.
Kenapa? Jika mencermati arah kebijakan pengelolaan energi nasional yang ada hingga saat ini, khususnya dalam hal bagaimana kita akan menjalankan transisi energi itu dan dalam kaitannya dengan bagaimana kita mendorong lebih pengembangan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBET), tampaknya memang akan sulit terwujud.
PRI AGUNG RAKHMANTO
* Pengajar di FTKE Universitas Trisakti
* Founder & Advisor ReforMiner Institute
======================
Bahkan, kita cenderung mengambil posisi minim di dalam melakukan investasi dan intervensi secara langsung. Tidak hanya itu, kita juga cenderung terlalu mengandalkan inisiasi dari pelaku usaha (investor) dan atau pihak lain yang memiliki dana.
Hal itu tercermin dari komposisi anggaran Pemerintah, dalam hal ini salah satunya anggaran di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebagaimana dapat dilihat, dari porsi untuk pembangunan infrastruktur dan SDA yang juga terbilang kecil (Rp 2,33 T atau 34,45% total anggaran). Dari jumlah itu, porsi untuk mendorong pengembangan EBET secara langsung pun dapat dikatakan sangat minim (PLTS Rp 99,54 M, PLTMH Rp 54,46 M dan perencananan Rp 31,98 M).
Dengan model komposisi anggaran yang semacam itu, wajar jika kemudian target bauran EBET 23% pada tahun 2025 kemungkinan besar tidak akan tercapai.
Jika pun angka target tersebut akan direvisi, katakanlah menjadi 17% – 19%, tidak ada jaminan bahwa angka itu akan dapat dicapai karena di dalam pencapaiannya pelaksanaannya yang secara langsung berada di dalam kendali pemerintah sendiri, melalui porsi anggaran dan invetasi/intervensi langsung, relatif kecil.
Pencapaian angka target bauran EBET akan lebih ditentukan pada bekerja atau tidaknya mekanisme pasar, dalam hal ini adalah ada/jadi atau tidaknya investasi yang direalisasikan oleh para pelaku usaha.
Jika pasar (pelaku usaha) dalam hal ini misalnya menentukan pilihan lain untuk investasinya, angka target bauran EBET dengan sendirinya akan selalu terpengaruh.

Lebih jauh terkait dengan aspek kemandirian, jika melihat kemungkinan pendanaan transisi energi melalui program JETP, berdasarkan informasi yang dihimpun, sebagian besar pendanaan akan dilakukan melalui mekanisme pinjaman konsesi.
Degan skema pendanaan yang mengandalkan pinjaman, dan terutama adalah model concessional loan semacam ini, keleluasaan kita untuk melaksanakan transisi energi, termasuk di dalamnya untuk melakukan optimalisasi sumber daya energi nasional sesuai kebutuhan nasional dan sesuai dengan potensi sumber energi yang kita miliki menjadi relatif terbatas.
Persyaratan dan ketentuan penggunaan dari concessional loan tersebut dengan sendirinya akan mengacu pada objektif dari pemberi loan atau dari mana dana tersebut tersedia atau diperoleh.
Catatan Akhir
Pemerintah dalam hal ini sebetulnya telah memiliki prinsip pengelolaan kebijakan nasional yang bagus. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Pemerintah “hanya” perlu konsisten di dalam melaksanakan ketentuan di atas; tidak kemudian cenderung mengikuti tren atau tema yang mengemuka seiring kepentingan dan waktu saja.