
Jakarta, Petrominer – Lebih dari 56 ribu orang mendesak bank internasional seperti Citi, DBS, Deutsche, JP Morgan, dan Morgan Stanley, untuk menghentikan dukungan pembiayaan ke Adaro Energy Indonesia. Hal ini menyusul langkah ekspansi bisnis Adaro yang disinyalir merupakan upaya greenwashing, yakni upaya untuk memberikan citra ramah lingkungan.
Desakan ini dilakukan melalui petisi yang dikoordinasikan oleh Ekō, sebuah lembaga yang berfokus untuk mendorong agar perusahaan menerapkan praktik yang berkelanjutan. Jika berminat, berikut link petisinya.
Citi, sebagai salah satu yang ditargetkan dalam petisi, pernah terlibat dalam kredit sindikasi untuk Adaro sebesar US$ 400 juta. Sementara kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang diberlakukan JPMorgan dan Deutsche Bank masih memungkinkan mereka untuk memberikan pembiayaan untuk perusahaan yang merusak lingkungan.
Adaro sempat menyatakan akan menghentikan eksplorasi dan ekspansi batubara termal. Namun, melalui anak usahanya Adaro Minerals, Adaro justru berencana menambang batubara metalurgi (coking coal), yakni salah satu bahan campuran yang digunakkan untuk pembuatan baja.
Ekspansi tersebut tidak sejalan dengan target iklim global. Berdasarkan skenario net zero dari International Energy Agency (IEA), produksi batubara metalurgi global saat ini sudah cukup untuk memenuhi permintaan sampai tahun 2050.
Juru Kampanye dari organisasi Ekō, Apekshita Varshney, menyatakan sangat penting bagi perbankan untuk memiliki kebijakan penghentian investasi batubara metalurgi dalam level project maupun corporate financing. Pasalnya, batubara termal dan metalurgi adalah dua sisi dari koin yang sama, yang berlawanan dengan target iklim.
Saat ini, Adaro memegang kepemilikan Tambang Kestrel di Queensland, Australia, yang telah memproduksi 5,57 juta ton batubara metalurgi pada tahun 2023 dan berpotensi mencapai produksi 175 juta ton. Sementara di Indonesia, Adaro memiliki konsesi tambang batubara metalurgi seluas 146,579 hektar. Tiga di antara lima area konsesi batubara metalurgi Adaro merupakan tambang baru (greenfield). Dalam rencana diversifikasi Adaro, batubara metalurgi dikategorikan sebagai bagian dari transisi ekonomi hijau.
“Alih-alih menghentikan dan mengurangi ketergantungan terhadap seluruh jenis batubara, Adaro malah menggunakan kedok ekonomi hijau untuk melanjutkan eksploitasi batubara,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Sementara Juru Kampanye Energi dan Keuangan Asia Market Forces, Binbin Mariana, mengatakan bahwa ekspansi batubara metalurgi sama bahayanya dengan ekspansi batubara termal.
“Tidak ada pengecualian, seluruh ekspansi tambang batubara akan membahayakan masa depan iklim global. Perbankan yang tetap bersikeras melanjutkan dukungan dan pendanaan ke Adaro menghadapi risiko gagalnya target penurunan emisi mereka,” ujar Binbin.
Meskipun mayoritas perbankan global memiliki kebijakan pembatasan investasi batubara, namun kebijakan perbankan tersebut tidak mencakup batubara metalurgi. Analisa lembaga Reclaim Finance dan Bank Track menemukan, pada tahun 2016-2023, perbankan global telah berinvestasi US$ 31,9 miliar (sekitar Rp 522 triliun) ke perusahaan batubara metalurgi. Hanya ada 9 dari 60 bank global tersebut memiliki kebijakan pembatasan batubara metalurgi.
Juru Kampanye Bank Track, Will O’Sullivan, mengatakan masuknya ekspansi batubara metalurgi ke dalam kategori transisi hijau sangat konyol. Perbankan masih memiliki banyak opsi untuk melakukan alternatif investasi ke proyek yang lebih rendah karbon seperti peleburan logam listrik dan baja yang menggunakan hidrogen hijau.
“Bank harus meninggalkan perusahaan yang tidak memiliki rencana transisi yang kredibel dan sejalan dengan sains iklim,” kata Will.