Cadangan batubara terbesar Indonesia berada di wilayah Kalimantan, disusul Sumatera dan Sulawesi.

Jakarta, Petrominer – Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mendesak Pemerintah untuk konsisten menegakkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Terutama dalam rencana perubahan keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.

Koordinator Nasional PWYP Indonesia, Maryati Abdullah, menyebut sejumlah pasal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut berpotensi melanggar UU Minerba. Salah satunya adalah pasal 112 ayat 1 dalam RPP tersebut, yang menyebutkan Kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ditandatangani sebelum diundangkannya PP 23/2010 dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktunya berakhir.

“Pasal ini berpotensi melanggar UU Minerba, khususnya Pasal 169 huruf b yang menyatakan bahwa Ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara,” ungkap Maryati, Rabu (10/4).

Dia pun mengingatkan bahwa perubahan ke-6 PP 23/2010 ini tidak boleh keluar dari koridor proses renegosiasi atas KK dan PKP2B sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Minerba. Proses renegosiasi yang dimaksud meliputi enam isu strategis, yaitu: luas wilayah kerja, kelanjutan operasi pertambangan, penerimaan negara, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi, kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri.

“Namun, RPP yang disusun Pemerintah justru terindikasi menabrak koridor yang ditetapkan UU Minerba,” tegasnya.

Pasal 12 ayat (1) huruf (a) dalam RPP menyebutkan Pemegang KK dan PKP2B dapat memiliki luas wilayah kontrak/perjanjian sesuai dengan rencana kegiatan pada wilayah kontrak/perjanjian yang telah disetujui Menteri sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 UU Minerba.

Hal ini berimplikasi pemegang KK dan PKP2B, yang telah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dapat mengelola wilayah pertambangan dengan luas lebih dari 15.000 hektare yang tentu saja berpotensi melanggar pasal 83 huruf (d) UU Minerba yang secara jelas menyebutkan bahwa luas 1 (satu) Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan batu bara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 hektare.

Selain itu, argumen pemberian luasan produksi melebihi ketentuan pasal 83 huruf (d) UU Minerba karena adanya pasal 171 UU Minerba tidak tepat karena harus melihat juga Pasal 169 huruf b UU Minerba.

Pasal 12 ayat (2) dalam RPP menyebutkan bahwa KK dan PKP2B, baik yang yang belum memperoleh perpanjangan, maupun telah memperoleh perpanjangan pertama, dapat diperpanjang menjadi IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi tanpa melalui lelang. Padahal ketentuan penerbitan IUPK berdasarkan UU Minerba harus diawali dengan penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dilanjutkan dengan lelang WIUPK. Selain itu, UU Minerba juga memberikan ketentuan terkait prioritas pemberian IUPK untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Menurut Maryati, Pemerintah harus tunduk pada ketentuan yang telah diatur oleh UU Minerba, bukan tunduk oleh tekanan kelompok kepentingan tertentu. Harus berani mengatakan tidak pada upaya-upaya pelanggaran atas kedaulatan negara.

Hal senada juga disampaikan Manajer Advokasi dan Pengembangan Program PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho. Dia pun meminta pemerintah untuk transparan dan akuntabel dalam seluruh tahapan pelaksanaan renegosiasi terhadap KK dan PKP2B mulai dari setiap tahap maupun hasilnya.

“Termasuk transparan dan partisipatif dalam penyusunan Perubahan ke-6 PP 23/2010 yang dalam setiap pasal-nya barkaitan dengan substansi pelaksanaan renegosiasi sebagaimana amanat UU Minerba,” ujar Aryanto.

Sayangnya, Kementerian ESDM belum transparan dan partisipatif dalam proses perjalanannya. Kementerian cenderung terbuka dan akomodatif terhadap kalangan pelaku usaha saja. Padahal ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sudah secara gamblang menyebut pentingnya partisipasi dalam penyusunan peraturan, termasuk PP di dalamnya.

“Ini seperti de javu, mengingatkan kembali pada penyusunan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan ke-5 Atas PP 23/2010 yang sarat kepentingan korporasi dan juga terindikasi melanggar UU Minerba,” jelasnya.

Aryanto juga mengingatkan Pemerintah agar penyusunan RPP ini tidak sekedar menjadi “karpet merah” dengan beragam insentif untuk memuluskan perpanjangan operasi produksi, khususnya pemilik PKP2B.

Justru sebaliknya, dengan sejumlah PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam lima tahun ke depan, seperti PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, dan PT Kideco Jaya Agung; ini menjadi momentum yang tepat untuk sekaligus melakukan evaluasi secara menyeluruh dan transparan terhadap sejumlah PKP2B tersebut. Apakah layak diperpanjang atau lebih baik di terminasi?

Tak hanya aspek teknis, kewilayahan maupun penerimaan negara saja. Evaluasi juga memperhatikan aspek lingkungan maupun kepatuhan terhadap pelaksanaan norma-norma Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk memastikan adanya konsultasi, meminta pertimbangan dan hak menyatakan pendapatan secara bebas dan tanpa paksaan (Free Prior Inform Consent–FPIC), khususnya dari masyarakat sekitar tambang.

Termasuk pertanyaan publik adalah apakah pemberian perpanjangan melalui perubahan IUPK terhadap PT. Tanito Harum (yang kontraknya habis 15 Januari 2019) dipastikan tidak melanggar hukum; Apakah ada evaluasi menyeluruh sebelunya; dan apakah dalam prosesnya sudah transparan, akuntabel dan partisipatif.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here