Pemeliharaan jaringan serentak yang dilakukan oleh tim Pekerjaan dalam Keadaan Bertegangan Tegangan Menengah (PDKB-TM).

Jakarta, Petrominer – Sejumlah pihak mengapresiasi gerak cepat PT PLN (Persero) dalam mengatasi kejadian pemadaman listrik total (blackout) di Jabodetabek, Banten, sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah hari Minggu (4/8) lalu. Kejadian blackout seperti itu ternyata juga pernah terjadi di negara lain termasuk negara maju.

Menurut Ketua CIGRE (Conseil International des Grands Reseaux Electriques/Dewan Internasional Sistem Listrik Besar) Indonesia, Herman Darnel Ibrahim, kejadian blackout juga pernah terjadi di negara maju. Contohnya Amerika Serikat, yang pernah mengalami beberapa kali.

“Di New York tercatat tiga kejadian yaitu pada 13 Juli 1977, 14 Agt 2003 dan terakhir baru saja bulan lalu 14 Juli 2019. Jadi rata-rata periodenya 15-20 tahunan,“ ujar Herman, Rabu (7/8).

Malahan, jelasnya, pemulihan blackout di New York pada tahun 2003 memerlukan waktu lebih 2 hari. Sementara kejadian terbaru pada 13 Juli 2019 lalu, juga baru pulih setelah 2 hari.

“California juga pernah mengalami blackout tahun 1996, 2011, 2018 dan 2019. Bahkan dalam kejadian blackout tahun 2011, Gubernurnya sampai mengatakan even new cars can get breakdown,” ujar Herman

Karena begitu lazimnya kejadian ini, paparnya, dalam konferensi CIGRE yang diselenggarakan tiap tahun genap di Paris, selalu ada sesi plenary khusus yang mempresentasikan kejadian blackout (Large Disturbances) yang terjadi di suatu negara.

Dalam sistem interkoneksi Jawa Bali, tercatat setidaknya pernah terjadi 4 kali blackout. Masing-masing pada tanggal 13 April 1997, 18 Agustus 2005, 18 Maret 2009 dan terakhir 4 Agustus 2019 kemarin.

“Jadi kira-kira periodenya sekali dalam 5-10 tahunan,” ujar Herman yang pernah menjabat sebagai Direktur Transmisi dan Distribusi PLN periode 2003–2008.

Interkoneksi Jawa Bali memang membuat sistem menjadi kuat, namun dalam sistem buatan manusia tidak ada jaminan reliability yang 100 persen. Mengutip Murpgis Law, dia menyebutkan bahwa un-reliability yang walau hanya 0.0000 sekian persen itu bisa menjadi penyebab.

Herman memaparkan, kejadian blackout umumnya diawali oleh gangguan dari luar, hubungan ke tanah atau lainnya. Gangguan juga bisa terkait dengan kelemahan dalam komponen sistem seperti kekurangan infrastruktur (N-1), asupan terkait setting proteksi, kontrol dan lain-lain. Dalam kondisi itu, jika proteksi tak bekerja sempurna, gangguan potensial untuk meluas.

Kriteria sekuriti sistem PLN seperti dimuat dlm RUPTL adalah N-1, artinya sistem didisain untuk tetap aman jika 1 komponen sistem trip (tanpa load curtailment). Dalam sistem Jawa Bali, tidak semua N-1 terpenuhi, khususnya pada transmisi. Komposisi pembangkit dan beban bisa bervariasi, bisa ada saat-saat dimana ktiteria N-1 tersebut tak terpenuhi.

Sistem Jawa Bali adalah interkoneksi yang sangat besar dengan sekitar 500 gardu Induk dan 200-an unit pembangkit serta ribuan kms transmisi. Melalui sistem interkoneksi itu, sejatinya sistem menjadi sangat kuat sehingga jarang sekali terjadi gangguan pasokan yang disebabkan oleh pembangkit dan transmisi. Namun sebaliknya, karena begitu besar dan kompleksivitasnya sistem, jika terjadi blackout akan butuh waktu lama untuk pemulihan.

“Prinsip operasi mencegah gangguan pasokan dan mengamankan sistem terhadap kemungkinan blackout ini sudah dilakukan utility seperti PLN,” ujarnya.

Gerak Cepat PLN

Sementara itu, Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Singgih Widagdo, mengapresiasi gerak cepat PLN dalam mengatasi kejadian blackout hari Minggu.

Dengan terjadinya pemadaman tersebut, Singgih berharap masyarakat dapat memahami kejadian tersebut sebagai kecelakaan dalam masalah teknis transmisi. Alasannya, kondisi serupa juga pernah terjadi di berbagai negara.

“Memang tidak semua bisa langsung menyala, karena terkait dengan sistem, termasuk yang aliran listriknya berasal dari PLTU. Saya tidak sependapat kalau hal ini dikaitkan dengan tidak kompetennya PLN tanpa memahami kronologisnya secara jelas. Yang saya lihat, PLN melakukan gerak cepat untuk mengatasi keadaan,” jelasnya.

Kecelakaan tersebut, menurut Singgih, merupakan masalah teknis transmisi yang terjadi di Ungaran, Semarang. Ada gangguan aliran power dari Timur yang tidak bisa masuk ke Barat, sementara cadangan (reserve) di Barat tidak tinggi.

Oleh karena itu, menurutnya, pembelajaran pertama dari kejadian ini adalah perlunya perbaikan sistem secara keseluruhan, dari hulu sampai hilir (dari pembangkit sampai ke pelanggan), baik dari sisi aksesbilitas maupun kapabilitas cadangan listrik.

Singgih juga memuji sikap PLN yang menanggung sebagian besar beban (moral maupun material) dengan lapang dada.

Recovery untuk perbaikan sistem teknis memang ada di PLN. Tapi idealnya, dari sisi sistem manajemen krisis, regulator juga bicara agar tidak semua terbeban kepada PLN saja,” tegasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here