Jakarta, Petrominer – PLN Nusantara Power (PLN NP) mengklaim upaya optimalisasi pembangkit menjadi kunci torehan positif perusahaan sepanjang tahun 2023. Hasilnya, produksi listrik tercacat sebesar 66,8 juta mega watt hour (MWh), atau tumbuh 291 persen dibandingkan realisasi tahun 2022 yang sebesar 17 juta MWh.
Direktur Utama PLN NP, Ruly Firmansyah, menyampaikan bahwa sepanjang tahun 2023, perusahaan telah melakukan berbagai terobosan. Hal ini tercermin dari Equivalent Availability Factor (EAF) Pembangkit Non Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa-Bali, EAF Pembangkit PLTU dan Non PLTU di Luar Jawa Bali yang mencapai lebih dari 100 persen dari target yang ditetapkan.
“EAF adalah faktor kesiapan unit pembangkit. Semakin besar nilai EAF suatu unit pembangkit, maka semakin siap beroperasi dalam memproduksi listrik,” jelas Ruly, Rabu (24/7).
Dia menegaskan, sebagai subholding pembangkitan terbesar di Asia Tenggara, PLN NP berkomitmen menjalankan operasional perusahaan dengan sungguh-sungguh. Seluruh karyawan PLN NP pun telah bertekad dan berkomitmen dalam menghadirkan energi listrik untuk menerangi pertiwi, secara efisien, tepat, dan berlandaskan asas ramah lingkungan.
Sebagai perusahaan pembangkitan, ungkap Ruly, PLN NP mengadaptasi tantangan transisi energi dengan aktif melakukan pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
Sepanjang tahun 2023, PLN NP mampu memproduksi listrik dari energi bersih sebesar 5,6 juta megawatt hour (MWh). Produksi listrik itu diantaranya berasal dari empat pembangkit EBT, yaitu PLTA Brantas, PLTA Cirata, PLTS Terapung Cirata dan PLTS Ibu Kota Nusantara.
“Beroperasinya pembangkit EBT, salah satunya PLTS Terapung Cirata yang merupakan PLTS terapung terbesar se-Asia Tenggara dan menjadi bukti dari komitmen PLN NP dalam menjawab tantangan transisi energi. Kami juga turut serta dalam mendukung Green City di IKN dengan membangun PLTS sebesar 10 MW,” ujar Ruly.
Selain berasal dari pembangkit EBT, produksi listrik ramah lingkungan juga berasal dari inovasi melalui teknologi co-firing atau subtitusi batubara dengan biomassa di PLTU. Teknologi co-firing ini mampu diimplementasikan secara komersial pada 24 PLTU dan menghasilkan 511 ribu MWh listrik bersih. Inovasi ini diyakini juga mampu mereduksi emisi hingga 533 ribu ton CO2.