
Jakarta, Petrominer – Sebuah survey terbaru mengungkapkan bahwa 88 persen pemimpin perusahaan di Indonesia mendukung transisi ke energi terbarukan dan penghentian penggunaan batubara dalam sistem ketenagalistrikan nasional pada tahun 2035 atau lebih cepat. Mereka percaya pasokan listrik berbasis energi terbarukan lebih menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat.
Dalam laporan bertajuk “Powering up: Business perspectives on shifting to renewable electricity,” hasil survet tersebut menunjukan sebanyak 97 persen dari 1.477 pemimpin bisnis skala menengah dan besar di 15 negara, termasuk Indonesia, mendukung peralihan dari batubara dan bahan bakar fosil lainnya.
Survei global tersebut dilakukan oleh Savanta atas permintaan We Mean Business Coalition, E3G dan Beyond Fossil Fuels di 15 negara di dunia, yang merupakan penghasil emisi batubara dan gas besar global.
CEO We Mean Business Coalition, Maria Mendiluce, menyatakan peralihan dari bahan bakar fosil bukan lagi sebuah perdebatan. Ini adalah kondisi ekonomi yang didorong oleh perusahaan-perusahaan yang mengakui energi terbarukan sebagai dasar untuk keunggulan kompetitif jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas harga energi.
“Para pemimpin bisnis sedang berinvestasi ke energi terbarukan dan ingin melakukan lebih banyak lagi. Namun, mereka membutuhkan pemerintah untuk mempercepat perencanaan dan perizinan untuk energi terbarukan, fasilitas penyimpanan energi, dan jaringan listrik,” ungkap Maria dalam pernyataan tertulis yang diterima PETROMINER, Jum’at (25/4).

Indonesia masih sangat bergantung pada batubara, yang saat ini menyumbang 62 persen dari total kapasitas pembangkit listrik nasional, didukung cadangan batubara mencapai lebih dari 31 miliar ton. Tak hanya itu, produksi listrik berbasis batubara meningkat hampir lima kali lipat dari 52 gigawatt hour (GWh) pada tahun 2002 menjadi 249 GWh pada tahun 2022.
Tentunya, kondisi ini bertentangan dengan keinginan 95 persen pemimpin bisnis di Indonesia yang mendukung penghentian penggunaan batubara paling lambat pada tahun 2035.
Untuk itu, Indonesia perlu menghentikan pembangunan pembangkit batubara baru yang saat ini mencapai 9.815 megawatt (MW), terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Indonesia juga perlu membatalkan rencana pembakaran batubara bersama amonia dan biomassa (co-firing), serta menyetop subsidi bahan bakar fosil yang menyentuh 2 persen dari total produk domestik bruto (PDB) tahun 2022.
Tidak hanya itu, sebagian besar eksekutif bisnis di Indonesia juga tidak menginginkan gas alam sebagai solusi transisi sementara.
Sebanyak 72 persen mendukung peralihan langsung dari batubara ke energi terbarukan. Tak hanya menghindari ketergantungan pada gas, sebanyak 69 persen pelaku usaha percaya transisi ke energi terbarukan dapat mengurangi dampak krisis iklim. Hal ini mengingat Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan laut.
“Gas alam telah menimbulkan kekacauan dan kerugian. Para pemimpin bisnis sudah cukup melihatnya. Akses ke energi terbarukan yang terjangkau kini menjadi syarat penentu bagi jajaran pemimpin perusahaan. Politisi yang gagal beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan dalam dekade berikutnya tidak hanya akan kehilangan investasi di masa depan; mereka juga akan mendorong pelaku bisnis pergi dari negaranya,” ujar Senior International Campaigner Beyond Fossil Fuels, Claire Smith.
Modernisasi Listrik
Indonesia melalui kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) menargetkan setidaknya 44 persen energi terbarukan dalam pembangkitan listrik nasional tahun 2030. Namun, 55 persen pelaku usaha khawatir soal ketersediaan pendanaan proyek energi terbarukan. Pasalnya, dalam empat tahun terakhir, investasi ke energi surya tercatat cukup kecil dan masih jauh dari US$ 14,4 miliar yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitasnya sesuai target tahun 2025.
Di sisi lain, 76 persen pelaku bisnis percaya peralihan dari batubara ke energi terbarukan dapat memangkas tagihan listrik perusahaan dan konsumen. Karenanya, mereka mendesak pemerintah untuk menyederhanakan proses perizinan (52 persen) serta mempercepat investasi dalam modernisasi jaringan listrik (51 persen).
Lebih dari setengah (53 persen) responden juga meminta pemerintah mengambil langkah konkret dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk memanfaatkan peluang kerja dari sektor energi terbarukan. Rencana penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 21 GW hingga tahun 2030 diperkirakan menciptakan 100 ribu lapangan kerja dan menarik investasi hingga US$ 4,3 miliar.
“Tekad bisnis untuk membangun sistem energi terbarukan adalah peluang besar bagi negara-negara untuk menarik investasi dan pertumbuhan. Pemerintah dan perusahaan perlu bekerja sama, melakukan peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk memanfaatkan peluang pekerjaan baru,” ujar Maria.























