
Yogyakarta, Petrominer – Para meneliti mendesak pemerintah untuk mengutamakan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan implementasi transisi energi berkeadilan. Ini perlu dilakukan karena semakin seringnya konflik yang terjadi, baik antara pemerintah dengan masyarakat maupun antar masyarakat, ketika terjadi pengembangan proyek energi terbarukan di wilayah mereka.
Konflik semakin rentan terjadi lantaran menguatnya polarisasi di negara-negara Global South. Polarisasi merujuk pada perpecahan kelompok masyarakat karena perbedaan yang mendalam, terutama dalam hal kepercayaan, agama, dan etnis, akibat dari pewacanaan dan kebijakan transisi energi yang tidak melibatkan masyarakat. Tentunya, kondisi ini menciptakan tantangan baru dalam perumusan dan implementasi kebijakan lingkungan dan transisi energi.
Hal ini menjadi sorotan utama di salah satu sesi forum bertajuk “Polarization and Its Discontents in the Global South: Mitigation Measures, Strategies, and Policies”, yang membahas akar dan dampak perpecahan di masyarakat, serta pihak yang diuntungkan dari polarisasi yang terjadi. Diskusi yang digelar oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 25-26 April 2025 ini menghadirkan pakar dari Kolombia, Brasil, Inggris, Malaysia, Indonesia, dan Afrika Selatan.
Anggota Majelis Konsorsium ICRS, Samsil Maarif, mengatakan wacana elit dan kebijakan transisi energi lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan energi listrik, serta transisi dari energi kotor dan mematikan ke energi terbarukan. Sementara bagi masyarakat lokal yang berpotensi terdampak, energi mencakup seluruh dimensi kehidupan, seperti kebutuhan lahan pertanian, air, udara bersih, hingga harmoni sosial.
“Pendekatan holistik, utamanya pelibatan dan perlakuan masyarakat sebagai subyek transisi energi, adalah syarat mutlak jika gagasan transisi energi adalah untuk keadilan,” ujar Samsul.
Menurutnya, polarisasi tidak hanya terjadi pada proyek energi fosil, tetapi juga energi terbarukan. Salah satunya proyek panas bumi di Gunung Tampomas, Sumedang, Jawa Barat yang diangkat melalui film berjudul “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor.”
Dalam film yang diputar dalam sesi ketiga diskusi tersebut, penetapan Gunung Tampomas sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) justru menimbulkan konflik sosial bagi masyarakat sekitar.
Dalam kasus ini, polarisasi terjadi lantaran masyarakat menemukan bukti sebaliknya dari klaim panas bumi sebagai energi bersih yang digaungkan pemerintah.
“Pemerintah menyebutnya energi bersih, tapi bagi masyarakat di kaki gunung yang kehilangan sumber air, sawah, dan hutan adatnya, ini tetap bentuk perampasan ruang hidup,” kata Eme, warga Desa Cilangkap, Buahdua, Sumedang.
Perwakilan masyarakat dari berbagai daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan lain-lainnya juga bersatu menolak proyek panas bumi. Pasalnya, mereka menemukan proyek ini justru menyebabkan krisis air, pencemaran lingkungan, hingga risiko kesehatan serius akibat kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S). Bahkan, telah terjadi beberapa kasus keracunan dan kematian akibat paparan H2S, yang menunjukkan bahwa energi ini tidak aman seperti yang diklaim.
“Masyarakat tiba-tiba kaget karena ada sekelompok orang datang dan melakukan eksplorasi di kampung kami tanpa ada informasi maupun partisipasi yang melibatkan unsur masyarakat. Justru yang diajak hanya pemerintah setempat,” tutur Chelsea, Warga Toraja.
Penuhi 3 Aspek
Menurut Al Ayubi, Policy Strategist CERAH, transisi energi setidaknya harus memenuhi tiga aspek, yakni bersih, adil, dan inklusif. Proyek energi terbarukan tidak akan berkelanjutan jika mengabaikan suara masyarakat adat dan lokal. Tanpa keadilan sosial, transisi energi hanya akan menjadi alat baru bagi ketimpangan sosial.
“Tak hanya itu, konflik yang terus terjadi lantaran tidak adanya pelibatan masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan justru akan menghambat konstruksi proyek, baik dari aspek waktu maupun biaya, bahkan membuat proyek batal dilaksanakan. Hal ini, lagi-lagi justru akan membuat transisi energi Indonesia jalan di tempat,” kata Ayubi.
Forum Unconference Polarization ini menghasilkan refleksi yang menekankan bahwa transisi energi tidak boleh hanya fokus pada aspek teknokratis dan ekonomi, tetapi juga harus memperhatikan keadilan sosial dan ekologis. Masyarakat adat dan lokal harus dilibatkan sejak awal dalam pengambilan keputusan terkait pemilihan jenis sumber energi terbarukan, serta mengetahui potensi dampak dan manfaat dari pembangunan pembangkit listrik di daerahnya.
Selain itu, negara dan industri harus menghargai nilai budaya dan ekologis kawasan yang menjadi sumber energi, serta memastikan akuntabilitas publik dalam proyek-proyek energi besar yang berdampak pada kehidupan rakyat.

























