Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita.

Jakarta, Petrominer – Industri baterai kendaraan listrik di Indonesia harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan. Pasalnya, ini akan berdampak pada baterai yang lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi dan waktu pengisian yang singkat.

Sebagai implementasi kesiapan memasuki era kendaraan listrik, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan. Hal ini sejalan dengan Rencana Pengembangan Industri Nasional (RIPIN), yang memprioritaskan pengembangan industri otomotif periode 2020–2035 dan mencakup pengembangan kendaraan listrik beserta komponen utamanya seperti baterai, motor listrik, dan inverter.

“Untuk menciptakan ekosistem dalam pengembangan kendaraan listrik, diperlukan keterlibatan para pemangku kepentingan yang meliputi industri otomotif, produsen baterai, dan konsumen. Dalam pengembangan BEV juga diperlukan kegiatan pilot project serta ketersediaan infrastruktur seperti charging station,” kata Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, pada webinar bertema “Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi,” Jum’at (15/10).

Agus menjelaskan, Pemerintah menargetkan produksi BEV tahun 2030 mencapai 600 ribu unit untuk roda 4 atau lebih, dan 2,45 juta unit untuk roda 2. Produksi kendaraan listrik diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 2,7 juta ton untuk roda 4 atau lebih dan 1,1 juta ton untuk roda 2.

Menurutnya, peningkatan kebutuhan baterai kendaraan listrik dinilai akan mendukung peran strategis rantai pasok global industri kendaraan listrik. Hal ini mengingat posisi Indonesia sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, serta masih tingginya cadangan bahan baku primer lainnya seperti cobalt, mangan, dan aluminium.

”Saat ini, ada sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai, yang meliputi lima perusahaan penyedia bahan baku baterai terdiri dari nikel murni, kobalt murni , ferro nikel, endapan hidroksida campuran, dan lain-lain, serta empat perusahaan adalah produsen baterai,” ungkap Agus.

Dengan demikian, Indonesia mendukung rantai pasokan baterai untuk kendaraan listrik mulai dari bahan baku, kilang, manufaktur sel baterai dan perakitan baterai, manufaktur EV, hingga daur ulang EV.

”Namun, masa depan kendaraan listrik juga tergantung pada inovasi baterai yang saat ini cenderung tidak menggunakan bahan baku nikel, kobalt, dan mangan seperti lithium sulfur dan lithium ferro phosphor. Inovasi ini membuat baterai menjadi lebih murah, termasuk juga inovasi solid baterai dan pengembangan basis storage hidrogen,” paparnya.

Oleh karena itu, industri baterai di Indonesia harus mengantisipasi perkembangan teknologi ke depan karena akan membawa dampak pada baterai yang lebih murah, energi yang dihasilkan lebih tinggi dan waktu pengisian yang singkat. Adanya teknologi disruptive battery seperti ini, mengindikasikan ketersediaan nikel, mangan dan kobalt yang melimpah tidak menjamin produksi baterai keberhasilan produksi baterai. Pertimbangan biaya dan kemampuan storage dari material baru juga harus diantisipasi.

Menurut Agus, penjualan BEV mengalami peningkatan setiap tahunnya meskipun di tengah masa pandemi Covid-19. Penjualan BEV untuk kendaraan penumpang pada tahun 2021 diperkirakan mencapai lebih dari 28 juta unit, dengan market share sekitar 30 persen.

Pertumbuhan tersebut berdampak pada peningkatan kebutuhan lithium ion battery (LIB) 1,65 juta GWh pada tahun 2030, serta kebutuhan infrastruktur charging station sekitar 9,89 juta unit.

”Tingginya proyeksi peningkatan populasi kendaraan listrik dunia sedikit banyak dipengaruhi oleh global initiative campaign yang diprakarsai oleh berbagai negara maju dengan bekerjasama dengan para produsen EV global serta organisasi nirlaba lainnya,” paparnya.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here