Jakarta, Petrominer – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan menyampaikan perlunya evaluasi kebijakan sektor energi, termasuk Kebijakan Energi Nasional dan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Koalisi ini menekankan pentingnya kebijakan energi yang memprioritaskan energi terbarukan, bukan energi baru seperti nuklir, hilirisasi batubara, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) dan gas alam, yang tinggi emisi dan mahal.
Demikian satu dari delapan rekomendasi quick wins untuk 100 hari pertama Pemerintahan Prabowo Gibran. Rekomendasi ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan dalam diskusi yang difasilitasi oleh Katadata Insight Center (KIC) bersama Tim Pertumbuhan 8% Prabowo-Gibran, Kamis (12/9).
Plt Direktur Program Koaksi Indonesia, Indra Sari Wardani, mengatakan rekomendasi ini bertujuan mendukung target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi untuk mewujudkan ekonomi hijau demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, sesuai visi misi Prabowo-Gibran dalam Asta Cita.
“Transisi energi berpotensi menciptakan lebih dari satu juta pekerjaan hijau pada tahun 2050, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan ramah lingkungan. Hal ini juga dapat berkontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan mendorong ekonomi hijau yang lebih luas,” ujar Sari Wardani.
Kedua, Presiden baru juga harus segera merumuskan peta jalan pensiun dini PLTU dan menyiapkan jaringan pengamannya, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022.
Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono, mengungkap bahwa semakin cepat pensiun dini PLTU dilaksanakan dan digantikan dengan energi terbarukan akan membawa keuntungan ekonomi yang lebih besar bagi Indonesia.
“Temuan Penelitian Celios dan CERAH terkait dengan dampak ekonomi pensiun dini pada PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya diproyeksi memiliki dampak terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan peningkatan hingga Rp82,6 triliun,” ungkap Agung.
Dalam konteks pensiun dini PLTU, menurut Direktur Eksekutif Humanis Foundation, Tunggal Pawestri, juga penting untuk menyoroti dampak langsung terhadap masyarakat rentan, khususnya pekerja, kelompok informal dan komunitas yang bergantung pada sektor ini. Kebijakan perlindungan jaminan sosial, program pelatihan, dan penciptaan lapangan kerja lokal baru harus menjadi bagian integral dari transisi, agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat yang paling terdampak.
Ketiga, perlu ada insentif pembiayaan untuk pengalihan ke energi terbarukan, serta pemberdayaan dan peningkatan akses pembiayaan UMKM dan koperasi untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat. Kemudahan ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemandirian energi di tingkat masyarakat sehingga dapat mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan energi ke depan.
Keempat, aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG/LST) perlu dijadikan persyaratan untuk mendapatkan perizinan investasi.
“Tanpa perlindungan (safeguard) yang kuat, pengembangan energi terbarukan dapat membawa konsekuensi signifikan bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Apalagi, lembaga keuangan global semakin ketat menyoroti aspek LST dalam menyalurkan pembiayaan proyek,“ ungkap Direktur Iklim dan Transformasi Pasar Yayasan WWF-Indonesia, Irfan Bakhtiar.
Evaluasi Kebijakan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan juga menyoroti perlunya evaluasi dari program yang sudah berjalan di era Presiden Joko Widodo. Menurut mereka, Presiden terpilih perlu meninjau ulang program bahan bakar nabati, yakni pencampuran biodiesel 50 persen (B50) dan bioetanol 10 persen (E10), serta program co-firing biomassa di PLTU.
“Kedua program ini harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri,” ungkap Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad.
Menurut Nadia, program B50 harus dievaluasi kembali karena studi Madani menunjukan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis. Artinya, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit yang menjadi bahan baku biodiesel, harus dihentikan.
Sementara Juru Kampanye Forest Watch, Anggi Prayoga, menambahkan bahwa praktik co-firing justru akan memperpanjang usia PLTU dan mendorong perluasan pembukaan hutan untuk memenuhi target produksi biomassa kayu melalui Hutan Tanaman Energi (HTE). Akibatnya, Indonesia justru akan menanggung utang emisi.
Anggi pun menegaskan, transisi energi seharusnya dilakukan tanpa merusak hutan.
Kebijakan lain yang perlu dievaluasi yakni terkait nilai ekonomi karbon (NEK). Presiden baru perlu memastikan kebijakan NEK ini memiliki kerangka pengaman yang kuat dan mampu mendukung pencapaian target netral karbon, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penerapannya. Hal ini perlu dilakukan agar dekarbonisasi sektor industri dapat segera tercapai dan alokasi dana karbon dapat terdistribusi pada sektor-sektor hijau untuk mewujudkan ekonomi hijau.
“Perlu lakukan pemetaan untuk perkuat aturan dan pengawasan implementasi jaring pengaman instrumen NEK, termasuk yang bersifat wajib seperti Amdal dan instrumen perizinan sehingga mampu menghindari risiko sosial maupun lingkungan dari implementasi NEK oleh korporasi serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan NEK,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law, Raynaldo G. Sembiring.
Implementasi transisi energi berkeadilan ini dapat dicapai melalui partisipasi masyarakat. Karena itulah, perlu ada pelibatan aktif masyarakat secara bermakna dalam penyusunan kebijakan energi sehingga tercipta kebijakan yang responsif dengan kebutuhan lokal dan efektivitas implementasi.
“Transisi energi diharapkan tidak hanya mendukung target ekonomi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutup Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.