Jakarta, Petrominer – Sektor energi sedang mengalami transformasi, dengan fokus yang berkembang pada sumber energi lebih bersih serta teknologi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan. Dalam konteks ini, hidrogen muncul sebagai pemain kunci dalam transisi energi, dengan berbagai metode produksi bersih yang menawarkan keunggulan dan daya saing berbeda di pasar.
Hasil terbaru dari Accelerated Energy Decarbonisation Scenario (AEDS), yang dikembangkan dalam kerangka GECF Global Gas Outlook edisi ke-7, memberikan wawasan berharga tentang masa depan hidrogen sebagai vektor energi. Hasil AEDS ini menunjukkan bahwa hidrogen berpotensi punya besar dalam memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Seyed Mohsen Razavi,
- Analis Teknologi Energi, Gas Exporting Countries Forum (GECF) ====================================
AEDS memproyeksikan bahwa permintaan hidrogen dapat mencapai 550 juta ton (mt) pada tahun 2050. Ini hampir 10 persen dari total bauran energi. Permintaan hidrogen yang tinggi ini mencerminkan kompatibilitasnya sebagai vektor energi, namun juga menyoroti kebutuhan akan sarana produksi hidrogen yang bersih dan lebih efisien.
Hidrogen ramah lingkungan yang diproduksi melalui elektrolisis air menggunakan tenaga terbarukan diperkirakan mencapai 48 persen dari produksi tahun 2050, dengan produksi sebesar 270 mt. Tingkat produksi ini akan membutuhkan listrik yang sangat besar, diperkirakan mencapai 12.000 terawatt hour (TWh). Ini setara dengan 43 persen pembangkit listrik tahunan dunia saat ini, atau empat kali lipat pembangkit listrik angin dan matahari saat ini, atau total pembangkit listrik saat ini di China dan AS.
Selain itu, dalam AEDS, juga akan ada kebutuhan total yang sangat besar untuk pembangkit listrik terbarukan yang diperkirakan sebesar 46.000 TWh per tahun dari matahari dan angin pada tahun 2050. Ini terjadi karena kebutuhan listrik yang lebih tinggi dan jalur dekarbonisasi seperti elektrifikasi sektor energi. Permintaan daya terbarukan dalam jumlah besar ini lebih dari 12 kali lebih tinggi daripada generasi saat ini dari angin dan matahari sekitar 3.600 TWh. Kebutuhan akan energi terbarukan dalam jumlah besar ini mengharuskan untuk mempertimbangkan sebagian besar produksi hidrogen dari metode lain yang tersedia, kompetitif, dan matang, seperti hidrogen biru berbasis gas alam.
AEDS memperkirakan sekitar 220 mt hidrogen akan dihasilkan menggunakan gas alam dengan carbon capture and storage (CCS). Ini terhitung 40 persen dari total produksi tahun 2050. Tingkat produksi hidrogen ini akan membutuhkan lebih dari 930 miliar meter kubik gas alam. Gasifikasi batubara dengan CCS diharapkan berkontribusi sekitar 10 persen atau 54 mt produksi hidrogen.
Daya saing biaya dari berbagai metode produksi hidrogen ini merupakan faktor kunci yang akan memengaruhi penetrasi dan adopsi pasar. Biaya hidrogen biru dan hijau bervariasi tergantung pada beberapa faktor, seperti lokasi, metode produksi, dan skala produksi. Saat ini, hidrogen biru adalah opsi yang lebih kompetitif dari segi biaya dibandingkan hidrogen hijau, karena memanfaatkan infrastruktur gas alam dan teknologi CCS yang ada. Saat ini, biaya rata-rata hidrogen biru diperkirakan sekitar US$ 1,5-3 per kilogram hidrogen, sedangkan biaya hidrogen hijau lebih tinggi, berkisar antara US$ 3-6 per kilogram.
Namun, karena sumber energi terbarukan menjadi lebih murah dan tersebar luas, hidrogen hijau diharapkan dapat meningkatkan daya saing biaya dan mendapatkan pangsa pasar yang besar. Biaya produksi hidrogen hijau diperkirakan turun sekitar 50 persen tahun 2030, yang membuatnya bersaing dengan biaya hidrogen biru saat ini.
Di sisi lain, hidrogen biru juga diharapkan menjadi lebih murah, karena pemanfaatan teknologi CCS meningkat dan diadopsi secara lebih luas. Pada tahun 2050, diperkirakan biaya hidrogen hijau akan serupa dengan hidrogen biru. Ini membuat kedua opsi tersebut dapat digunakan secara luas di berbagai industri.
Penting untuk dicatat bahwa transisi energi bukanlah solusi satu ukuran untuk semua. Berbagai metode produksi hidrogen bersih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Dalam konteks ini, AEDS mengakui pentingnya mempertimbangkan semua metode produksi hidrogen bersih.
Kesimpulannya, hidrogen adalah elemen penting dalam transisi energi, menawarkan sumber energi bersih dan serbaguna yang dapat memainkan peran penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan. Hasil AEDS menyoroti pentingnya mempertimbangkan semua metode produksi hidrogen bersih, termasuk hidrogen biru dan hidrogen hijau, dalam bauran energi masa depan.
Daya saing biaya dari metode produksi hidrogen yang berbeda ini akan menjadi faktor kunci yang mempengaruhi penetrasi dan adopsi pasar. Transisi energi kemungkinan akan melibatkan kombinasi metode produksi hidrogen bersih yang disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks energi tertentu.