
Jakarta, Petrominer – Indonesia memimpin perluasan kapasitas tambang batubara di Asia Tenggara, dengan 31 juta ton per tahun (Mtpa) proyek yang sedang dikembangkan. Tak hanya itu, dari sekitar 135 Mtpa kapasitas tambang batubara dalam perencanaan di 12 negara Asia, kecuali China, Indonesia dan Pakistan berkontribusi lebih dari setengahnya.
Global Energy Monitor (GEM) menyebutkan, peningkatan tambang batubara berpotensi menaikkan emisi gas rumah kaca metana dan memperburuk krisis iklim. Temuan ini dipublikasikan dalam laporan terbaru GEM berjudul “Still digging 2025: Tracking Global Coal Mine Proposals,” yang diperoleh PETROMINER, Senin (4/8).
Menurut laporan tersebut, dari 31 Mtpa proposal tambang batubara di Indonesia, sebanyak 15 Mtpa dalam tahap konstruksi dan 16 Mtpa dalam perencanaan. Sekitar 94 persen dari proyek tambang baru tersebut memproduksi batubara thermal guna memenuhi kebutuhan pembangkit listrik domestik dan pasar ekspor.
Namun, tercatat juga terdapat lebih dari 40 proyek baru di Indonesia masih berada di tahap sangat awal tanpa data kapasitas yang jelas. Tak hanya itu, Pemerintah kini juga gencar mengeksplorasi cadangan batubara metalurgi (coking coal) dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor dari Rusia, Australia, dan China. Padahal, ekspansi tambang batuara ini berisiko bagi Indonesia.
“Dengan China dan India menyerap hampir dua pertiga ekspor batubara Indonesia pada tahun 2023, sektor ini menghadapi risiko keekonomian dan ancaman menjadi aset terlantar (stranded asset). Hal ini terlihat pada awal 2025, ketika ekspor batubara Indonesia anjlok ke titik terendah dalam tiga tahun, akibat meningkatnya produksi domestik di kedua negara tersebut,” ungkap Manajer Proyek Global Coal Mine Tracker GEM, Dorothy Mei.

Sementara itu, tercatat terdapat 2.270 Mtpa proyek batubara dalam berbagai tahap pengembangan di 30 negara di dunia. Secara global, Indonesia menempati peringkat 8 negara dengan proposal tambahan kapasitas tambang batubara terbesar. Sementara China memimpin dengan margin yang sangat signifikan dengan tambahan kapasitas mencapai 1.350 Mtpa.
Jika semua proposal tambang baru ini terealisasi, diperkirakan terdapat 15,7 juta ton metana akan dilepas ke udara setiap tahunnya. Jumlah ini setara 1,3 miliar ton CO₂e, yang melebihi total emisi tahunan Jepang pada tahun 2022.
Alhasil, emisi gas rumah kaca global akan melejit menjadi 6 miliar to CO₂e, atau setara dengan emisi Amerika Serikat sebagai polutan terbesar kedua dunia.
Padahal, dari 30 negara dengan proyek tambang batubara baru dalam pengembangan, 21 diantaranya merupakan penandatangan Global Methane Pledge, termasuk Indonesia. Meski demikian, hanya beberapa negara yang telah menyampaikan rencana mitigasi metana yang konkret.
“Jika negara-negara ini benar-benar berkomitmen pada target iklim mereka, solusinya bukanlah melanjutkan pengembangan tambang batubara dengan aksi mitigasi yang tidak jelas, tetapi menghentikan proyek baru sepenuhnya. Strategi paling efektif untuk ini sangat jelas, yakni biarkan batu bara tetap di dalam tanah,” ujar Peneliti Senior GEM, Tiffany Means.
Sementatra Policy Strategist CERAH, Wicaksono Gitawan, menyatakan tindakan Indonesia untuk mendorong ekspansi tambang batubara tidak sesuai dengan target transisi energi dan komitmen iklim sesuai Perjanjian Paris. Apalagi, Presiden Prabowo subianto telah menyatakan bahwa Indonesia siap menggunakan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan, dalam lawatannya ke Brasil bulan lalu.
“Dibandingkan ekspansi batubara, seharusnya pemerintah mulai serius menyiapkan kebijakan dan langkah konkret untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan dengan lebih masif dan menghentikan penggunaan batu bara secara berlebihan,” tegas Wicaksono.

























