
Jakarta, Petrominer – Praktisi energi terbarukan dan kelistrikan, Riki F. Ibrahim, menilai Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Indonesia sebaiknya dibubarkan saja. Alasannya, lembaga baru ini belum memiliki pengalaman dalam hal pendanaan dan belum dirasakan manfaatnya oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Meski begitu, Riki mengakui bahwa proyek-proyek pengembangan energi terbarukan masih sangat perlu dibantu pendanaannya oleh bank-bank multilateral dunia. Apalagi, pasar energi terbarukan Indonesia itu belum dapat bersaing layaknya sektor migas dan batubara di pasar international seperti di negara maju.
Dosen program S2 energi terbarukan di Universitas Darma Persada ini mengungkapkan hal tersebut berdasarkan pengalamannya dalam berinteraksi dengan lembaga-lembaga pendanaan multilateral bank dunia. Penilaian terhadap JETP Indonesia tersebut disampaikan dalam wawancara dengan Climate Investment Funds (CIF) yang dilakukan, Jum’at (2/5).
JETP merupakan skema pendaan global bertujuan untuk membantu negara-negara berkembang dalam transisi energi mereka menuju energi ramah lingkungan. JETP Indonesia, yang diluncurkan pada November 2022, memiliki komitmen awal sebesar US$ 10 miliar dari negara-negara anggota International Partners Group (IPG) dan US$ 10 miliar tambahan dari sektor swasta melalui Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Namun, skema pendanaan ini dinilai belum mampu bersaing dengan skema pendanaan dari bank-bank multilateral dunia.
“Lembaga baru ini (JETP) belum memiliki pengalaman dalam hal pendanaan,” ungkap mantan Direktur Utama PT GeoDipa Energi (Persero) dalam wawancara tersebut seperti disampaikan kepada PETROMINER, Minggu (4/5).

Hal ini, jelas Riki, pada akhirnya bakal menyulitkan para sponsor pendana untuk melanjutkan pencairan dananya. Pasalnya, sebagian besar berbentuk pinjaman komersial dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan pinjaman pasar. Sedangkan JETP Indonesia dipastikan akan membebani bunga lebih tinggi, karena lembaga ini memerlukan pengeluaran besar di awal untuk mendirikan, menetapkan dan membentuk lembaga kerja seperti Bank Dunia.
Dia menyatakan JETP Indonesia sebaiknya dibubarkan saja. Sementara seluruh pendanaan dari para sponsor yang telah berkomitmen sebaiknya dialihkan kepada masing-masing bank multilateral di dunia.
“Dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai insentif pembiayaan teknologi bagi negara-negara sponsor anggota JETP, serta untuk mendanai program edukasi mengenai penerapan prinsip ESG secara komprehensif kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat di sekitar proyek Energi Terbarukan di Indonesia,” tegas Riki.
Dia pun mengingatkan bahwa Indonesia memiliki PT SMI (Persero) dan PT PII (Persero) yang berpengalaman mendampingi multilateral Bank Dunia. Karena itulah, realisasi pendanaan sebaiknya dialokasikan kepada kedua BUMN tersebut.
“Special Mission Vehicle (SMV) di bawah Kementerian Keuangan ini akan banyak manfaatnya daripada membentuk JETP Indonesia,” ujar Riki.
Safeguard ESG
Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) ini juga berpendapat bahwa hibah yang sudah dikeluarkan itu belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia. Lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia dari total sekitar 270 jiwa penduduk Indonesia, belum memahami pentingnya dan manfaat JETP Indonesia.
“Apalagi pendanaan ini pada akhirnya dibebani kepada anak cucuk kita semua,” ucapnya mengingatkan.
Riki menjelaskan, biaya untuk mematikan lebih awal PLTU hingga tahun 2035, padahal kontraknya baru berakhir tahun 2042, mencapai US$ 250 hingga 300 juta atau setara Rp 3,9 hingga 4,7 triliun. Program ini justru akan membebani generasi mendatang, sementara manfaat pengurangan emisinya hanya sekitar 30 juta ton.
Menurutnya, hibah sekitar US$ 155 juta ditambah US$ 157 juta dalam bentuk bantuan teknis seharusnya dialokasikan untuk program edukasi mengenai penerapan safeguard ESG secara komprehensif bagi seluruh pemangku kepentingan. Ini diperlukan agar dapat disusun kebijakan dan regulasi yang mendukung implementasi safeguard ESG dalam proyek-proyek energi terbarukan, dari Sabang di ujung barat Indonesia hingga Merauke di timur.
“Indonesia memiliki potensi sumberdaya energi terbarukan yang melimpah. Seluruh pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah dan DPRD di daerah, masih sangat perlu memahami pentingnya penerapan safeguard ESG secara komprehensif,” ungkap Riki.

























