Butuh Biaya Besar dan Reformasi Kebijakan untuk Capai 100 Persen EBT

0
735
Presiden Prabowo Subianto pada kunjungan kenegaraan ke Brasil, Kamis (10/7) lalu. (Foto: BPMI Setpres)

Jakarta, Petrominer – Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) menegaskan bahwa Pemerintah memerlukan pembiayaan yang besar guna merealisasikan ambisi Presiden Prabowo Subianto mencapai 100 persen energi terbarukan (EBT) di tahun 2035. Diperlukan juga implementasi kebijakan dari kementerian kunci, terutama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.

Komitmen ambisius tersebut dilontarkan Presiden Prabowo pada kunjungan kenegaraan ke Brasil, pekan lalu. Sebelumnya, dalam forum G20, Presiden juga menyebutkan target penambahan 75 Gigawatt (GW) EBT dan pencapaian net zero emission (NZE) lebih cepat 10 tahun, atau tahun 2050.

“SUSTAIN telah menghitung potensi pendanaan yang bisa dipakai untuk percepatan pembangunan energi terbarukan, yakni dari penambahan pungutan produksi batubara ditambah investasi dari China, yang bisa membiayai minimal Rp 819,6 triliun untuk pembiayaan 10 tahun RUPTL,” ujar Tata dalam siaran pers yang diterima PETROMINER, Senin (14/7).

Dalam publikasi terbaru SUSTAIN, perhitungan dengan menggunakan beberapa skenario, penambahan pungutan produksi batubara bisa menghasilkan total pendanaan hingga Rp 675,6 untuk 10 tahun RUPTL (2025-2034). Sementara dari pembiayaan bilateral khususnya China, di mana Indonesia adalah penerima dana terbesar dalam skema investasi BRI, untuk sektor energi berpotensi menghasilkan dana Rp 144 triliun dalam periode yang sama.

Baca: Pajak Ekspor Batubara, Solusi Mandiri untuk Biayai Transisi Energi

Artinya, dari penambahan pungutan pajak batubara dan pendanaan China di sektor energi dengan perhitungan paling konservatif bisa menyumbang hingga Rp 819,6 triliun. Tambahan pendanaan ini dapat dialokasikan untuk membiayai 77 persen pembangunan pembangkit EBT swasta, jaringan transmisi, dan distribusi, dalam RUPTL selama masa Pemerintahan Presiden Prabowo saat ini (2025-2029).

“Kedua sumber pembiayaan tersebut tidak bisa menutup seluruh kebutuhan untuk memenuhi komitmen Presiden,” tegas Tata.

Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa dalam rencana kelistrikan nasional terbaru atau RUPTL 2025-2034, target penambahan sumber listrik dari EBT memang cukup masif. Porsinya ditargetkan mencapai 61 persen. Sementara pembangkit listrik berbahan bakar fosil, termasuk di dalamnya batubara dan gas, sebesar 24 persen.

Menurut Tata, tantangan terbesar untuk mencapai komitmen Presiden Prabowo untuk 100 persen penggunaan EBT adalah meminimalkan dan membatalkan beberapa pembangunan pembangkit fosil (batubara maupun gas) di dalam RUPTL 2025-2034. Pemerintah juga harus lebih tegas lagi memensiunkan dini PLTU batubara yang ada, dan secara masif membangun pembangkit EBT.

“Dengan target RUPTL 2025-2034, Pemerintah harus membangun pembangkit EBT dengan kecepatan 4,5 kali lipat di tahun 2025-2029 dan 11 kali di 2030-2034, dibandingkan kecepatan pembangunan pembangkit EBT saat ini. Alasan yang sering dikemukakan pemerintah mengapa pengembangan EBT berjalan lambat adalah minimnya pendanaan untuk EBT dibandingkan untuk energi fosil,” jelasnya.

Reformasi Kebijakan

Selain itu, Pemerintah juga harus melakukan reformasi kebijakan di sektor energi dan fiskal untuk mengalihkan pembiayaan ke investasi EBT di Indonesia, termasuk pembiayaan dari dalam negeri dan investasi asing. Pasalnya, selama ini investasi ke EBT masih kalah jauh dengan investasi ke industri fosil.

Catatan IEEFA, Indonesia hanya bisa mendapatkan US$ 1,5 miliar untuk EBT pada tahun 2023. Padahal di dokumen RUPTL, target pendanaan untuk energi terbarukan perlu US$ 105,2 miliar atau Rp 1.682,4 triliun.

“Peran pengelola pendanaan ini bisa dijalankan oleh Badan Pengelola Investasi Danantara. Danantara bisa mengelola dua sumber pendanaan ini untuk menggunakan langsung kepada proyek-proyek pengembangan energi terbarukan yang tercantum dalam RUPTL,” tegas Tata.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here