Wakil Ketua Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB, Nanang Abdul Manaf, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, dan Ketua Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB Syamsu Alam. (Petrominer/Fachry Latief)

Jakarta, Petrominer – Defisit minyak dan gas yang makin besar untuk memenuhi kebutuhan nasional akan mulai terjadi pada tahun 2025 hingga mencapai puncaknya tahun 2050. Namun defisit tersebut berpotensi dikurangi dengan adanya komitmen kerja pasti (KKP) sebesar US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 31,5 triliun, sebesar US$ 1,1 miliar di antaranya untuk kegiatan eksplorasi.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, menyatakan saat ini ada dana yang cukup besar untuk eksplorasi, yang dijanjikan oleh para kontraktor migas dalam KKP ketika mendapat kepastian perpanjangan kontrak wilayah kerja migas. Malahan, kegiatan eksplorasi itu bisa dilakukan di dalam maupun luar wilayah kerja migas mereka.

“Ini dana yang bisa digunakan untuk eksplorasi 5-10 tahun ke depan. Dana ini kami harapkan terus bertambah,” ujar Arcandra dalam Seminar Energi Neraca Energi Indonesia, Suatu Tinjauan Kritis Sektor Migas” yang digelar Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, Selasa (19/2).

Menurutnya, dana eksplorasi dari KKP kontrak bagi hasil dengan skema gross split jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, yang hanya sebesar US$ 5 juta. Dana tersebut sangat kecil dengan begitu banyak basin yang belum dieksplorasi.

Selain dana eksplorasi, Pemerintah juga berencana memperbaiki dari sisi penggunaan data untuk kebutuhan seismik. Data-data kebutuhan untuk eksplorasi akan dibuka bagi perusahaan-perusahaan yang berminat.

“Data-data akuisisi akan dibebaskan. Karena selama ini, dana PNBP dari akses data hanya sekitar US$ 1 juta. Jadi kita akan revisi Permen Nomor 27 Tahun 2006,” ungkap Arcandra.

Sebelumnya, Wakil Ketua Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB, Nanang Abdul Manaf, memaparkan bahwa berdasarkan neraca sumber energi primer migas tahun 2025-2050, pada tahun 2025 akan ada defisit minyak sebesar 1,39 juta BOPD (barrel oil per day) dan gas sebesar 2.837 juta standar kaki kubik per hari (MMCFD). Defisit akan makin besar pada tahun 2050, yakni 3,82 juta BOPD minyak dan 24.398 MMSCFD gas.

Meski begitu, Nanang mengatakan ada beberapa langkah untuk bisa meningkatkan produksi untuk menutup defisit pada masa itu. Langkah tersebut di antaranya adalah insentif untuk usaha-usaha eksplorasi sebagai antisipasi jangka panjang, percepatan POD/POFD, secondary dan tertiary recovery project (EOR), dan pencarian upside potential di mature field.

“Selain itu perlu mendorong BUMN migas atau perusahaan energi nasional untuk mencari sumber energi di luar Indonesia,” kata Nanang yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Pertamina EP.

Hal senada juga disampaikan oleh Syamsu Alam, Ketua Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB. Defisit tersebut bakal terjadi karena pertumbuhan konsumsi tidak bisa diimbangi oleh produksi dan juga penemuan cadangan migas baru.

Menurut Syamsu, hingga tahun 2050, kebutuhan migas khususnya minyak secara persentase belum berkurang secara signifikan. Malahan, kala itu, kebutuhan bisa mencapai 2 juta-3 juta barel per hari (bph).

Di sisi lain, jika melihat cadangan Indonesia 3,5 bilion BOE atau hanya 0,2 persen dari cadangan minyak dunia, sehingga butuh effort luar biasa agar produksi nasional bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Kita harus ingat, produksi minyak saat ini 800 ribu itu yang 200 ribu bph berasal dari Banyu Urip. Kalau tidak ada Banyu Urip, produksi hanya 500 ribuan. Kalau tidak menemukan Banyu Urip lainnya, kita akan menghadapi masalah besar nantinya,” ujar Syamsu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here