PLTU Tanjung Awar Awar di Tuban, Jawa Timur.

Jakarta, Petrominer – Dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Brasil, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan visi mencapai nol bersih pada tahun 2050. Caranya, dengan menghentikan seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan membangun 75 gigawatt (GW) energi terbarukan.

Namun, Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai target tambahan energi terbarukan tersebut kurang ambisius. Indonesia paling tidak membutuhkan tambahan energi terbarukan 210 GW, jika ingin menyetop seluruh PLTU pada tahun 2040. Untuk itu, Indonesia seharusnya menetapkan target penerapan energi ramah lingkungan yang lebih ambisius.

Analis CREA, Katherine Hasan, menyebutkan sebanyak 62 persen pasokan listrik Indonesia, baik yang tersambung dengan jaringan PLN (on grid) maupun berdiri sendiri (off grid), berasal dari batubara. Karena itulah, rencana penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil pada tahun 2040 merupakan terobosan besar.

“Target tambahan 75 GW energi terbarukan dan 5 GW nuklir pada tahun 2040 yang diumumkan baru-baru ini hanya akan menghasilkan listrik bebas fosil sekitar 35 persen dari proyeksi kebutuhan listrik nasional. Ini berarti targetnya harus ditingkatkan lebih dari dua kali lipat agar visi Presiden Prabowo dapat menjadi kenyataan,” ujar Katherine dalam pernyataan tertulis yang diperoleh PETROMINER, Selasa (26/11).

Target penambahan energi terbarukan di Indonesia setidaknya harus sebesar yang tercantum dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP), yang membidik tambahan 210 GW pembangkit listrik non-fosil pada tahun 2040, dan mencapai 80 persen pangsa energi terbarukan pada periode yang sama. Meskipun, jika Presiden Prabowo serius ingin mematikan seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil, penambahan energi terbarukan harus lebih besar lagi.

“Tambahan kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan sekitar 25 persen lebih banyak dari JETP di 2040, kalau semua PLTU dan pembangkit berbahan bakar fosil di-phase out,” tambah Katherine.

Hal ini penting lantaran mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan permintaan listrik, penerapan target 75 GW juga berarti masih memberi ruang penambahan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Perkiraan CREA, jika penambahan kapasitas energi terbarukan hanya 75 GW, penambahan pembangkit listrik bertenaga fosil akan meningkat hingga 160 persen dari tahun 2022 hingga 2040.

Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta, menekankan rencana yang disampaikan Presiden Prabowo harus diselaraskan dengan peta jalan investasi pembangkit listrik yang tertera dalam dokumen CIPP JETP.

“Kami juga meminta agar pemerintah terus berupaya menghilangkan hambatan yang selama ini menghambat lepas landasnya sumber daya energi bersih berbiaya rendah di Indonesia, untuk memastikan bahwa tujuan yang ditetapkan dalam rencana tersebut sepenuhnya terwujud dalam jangka waktu yang diusulkan,” tutur Lauri.

Penyesuaian target energi terbarukan agar selaras dengan visi penghapusan bahan bakar fosil pada 2040 merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi. Di luar investasi sebesar US$ 235 miliar yang direncanakan oleh PLN untuk penambahan kapasitas sebesar 100 GW, peningkatan ambisi untuk memenuhi target energi bersih JETP CIPP akan menghasilkan investasi hampir US$ 200 miliar dari tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 130 GW.

Tak hanya itu, penghentian PLTU batubara secara bertahap akan membawa manfaat kesehatan yang besar. Saat ini, PLTU bertanggung jawab atas 10.500 kematian tahunan dan beban ekonomi sebesar US$ 7,4 miliar di Indonesia. Visi Presiden Prabowo akan sejalan dengan target 1,5 derajat Perjanjian Paris, yaitu menghindari total kumulatif 182 ribu kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar US$ 130 miliar, mulai 2024 hingga akhir masa pakai semua pembangkit listrik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here