Jakarta, Petrominer – Pembiayaan oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) ke sejumlah proyek gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) di seluruh dunia dinilai berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Salah satunya proyek LNG Donggi-Senoro, yang dianggap menyebabkan hasil panen dan tangkapan nelayan berkurang signifikan.
Hal tersebut diungkapkan dalam laporan berjudul “Faces of Impact: JBIC dan Japan’s LNG Financing Harms Communities and the Planet.” Laporan ini, yang disusun koalisi organisasi masyarakat sipil, diantaranya Friends of Earth Japan, Oil Change International, Australia Conservation Foundation, Greenpeace, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), diperoleh PETROMINER, Kamis (17/10).
Menurut laporan tersebut, sejak tahun 2016 atau setelah disepakatinya Perjanjian Paris, JBIC telah mengucurkan dana hingga US$ 18,6 miliar untuk ekspansi proyek gas. Angka ini empat kali lebih besar dari kontribusi Jepang untuk Green Climate Fund, sebuah mekanisme pembiayaan yang membantu negara berkembang untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Tak hanya itu, meski negara-negara G7 telah berkomitmen mengakhiri pendanaan proyek energi fosil mulai akhir tahun 2022, namun JBIC masih menyediakan dana untuk proyek energi kotor ini hingga US$ 3,9 miliar.
Di Indonesia, salah satu proyek yang didanai JBIC adalah Proyek LNG Donggi-Senoro senilai US$ 1 miliar di Desa Uso, Banggai, Sulawesi Tengah. Proyek tersebut ditemukan telah membatasi daerah pancing nelayan, serta mengurangi kualitas dan kuantitas tangkapan ikan. Hal yang sama juga terjadi pada panen kelapa, pisang, jagung, dan cabai di desa tersebut.
“Nelayan mengalami penurunan pendapatan yang signifikan, bahkan kadangkala turun hingga sepersepuluh dari sebelumnya, karena pengembangan proyek LNG dan pembatasan wilayah tangkap nelayan ke perairan sekitar. Selain itu, berbagai hasil tani juga terpengaruh oleh emisi yang dikeluarkan oleh kilang LNG,” ungkap Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional, Dwi Sawung.
Padahal, sebelum Proyek LNG Donggi-Senoro dibangun, masyarakat sekitar mampu mengelola perekonomian mereka secara mandiri. Bahkan, mereka dapat dengan mudah menangkap ikan cakalang hanya dengan memasang rumpon atau alat bantu penangkapan ikan di pesisir lokasi Proyek LNG Donggi Senoro.
“Kini, nelayan setempat dilarang untuk menangkap ikan di lokasi tersebut,” ujar Dwi.
Karena berbagai dampak tersebut, masyarakat menuntut kompensasi dan pekerjaan dari pengelola proyek. Namun, tak hanya menolak memberikan kompensasi, janji untuk memprioritaskan masyarakat setempat untuk bekerja di Proyek LNG Donggi-Senoro pun tidak mencukupi.
Dari total 570 pekerja di proyek tersebut, 90 pekerja berketerampilan berasal dari luar Sulawesi Tengah dan 480 pekerja tanpa keterampilan dari Batui dan sekitarnya. Namun, hanya 25-30 warga Desa Uso yang dipekerjakan terkait proyek tersebut sebagai pekerja tidak tetap melalui subkontraktor, yakni sebagai petugas keamanan dan kebersihan.
Kondisi serupa juga terjadi di proyek-proyek LNG lainnya yang didanai JBIC di seluruh dunia. Di Bangladesh misalnya, Proyek PLTG Meghnaghat membuat masyarakat setempat kehilangan mata pencaharian karena turunnya populasi ikan, dan membebani Bangladesh dengan harga listrik tinggi.
Di Thailand, PLTG Gulf SRC dan Gulf Pluak Daeng membuat warga kehilangan sumber penghidupan dan rusaknya keanekaragaman hayati. Di Filipina, terminal impor LNG AG&P Linseed melanggar regulasi polusi air dan lingkungan, serta membuat warga direlokasi.