
Jakarta, Petrominer – Perkembangan hilirisasi nikel di Indonesia dinilai memiliki prospek yang menjanjikan bagi para investor. PT Vale Indonesia, sebagai salah satu pelaku industri Nikel, diyakini bisa memainkan peran strategis dalam mendukung terwujudnya hilirisasi nikel tersebut.
“Kami yakin Vale Indonesia, yang selama ini cukup efisien dalam kegiatannya, ke depan akan semakin berkembang. Apalagi jika didukung dengan regulasi yang memperhatikan aspek keberlanjutan dunia usaha,” kata Executive Director Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, dalam wawancara kepada media, Jum’at (16/5).
Optimisme tersebut, menurut Hendra, sudah dicerminkan melalui laporan tahunan Vale per 31 Desember 2024 yang diumumkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang disampaikan Jum’at (16/5). Perusahaan dengan kode saham INCO ini mencatatkan pendapatan sebesar US$ 950,4 juta, dengan laba bersih US$ 57,8 juta.
Pendapatan tersebut ditopang oleh kinerja utama dari produksi bijih nikel sebesar 14,6 juta ton. Sementara produksi nikel dalam matte sebesar 71,3 ribu ton dan pengiriman nikel matte sebesar 72,6 ribu ton.
“Kami optimistis terhadap kinerja Vale Indonesia yang akan terus membaik. Apalagi jika rencana investasi besar proyek hilirisasi mereka terwujud,” ungkapnya.
Sebagaimana diketahui saat ini, Vale Indonesia sedang membangun proyek besar terkait hilirisasi yang ditarget tuntas pengerjaannya pada 2025-2026. Proyek tersebut adalah pembangunan smelter HPAL di Pomalaa (Sulawesi Tenggara) dan Morowali (Sulawesi Tengah), serta smelter RKEF di Sorowako (Sulawesi Selatan).
Dukungan Pemerintah
Lebih lanjut, Hendra mengingatkan program hilirisasi tersebut akan dapat berjalan optimal jika didukung dengan kebijakan. Dan, kebijakan tersebut sepatutnya dapat membantu industri dalam meminimalkan beban biaya operasional.
Dari sudut pandang pelaku usaha, perusahaan pertambangan dinilai telah memenuhi kewajiban Peningkatan Nilai Tambah (PNT) melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.
“Namun kalau kita berbicara mengenai hilirisasi secara umum, maka masih terdapat rantai pasok industri nikel yang belum tersedia. Oleh karena itu sebagian besar produk hasil pengolahan pemurnian dalam negeri diekspor. Ini yang harus diatasi,” paparnya.
Meski begitu, Hendra mengingatkan masih terdapat beberapa tantangan hilirisasi pertambangan. Salah satunya, diperlukan modal besar dan bersifat jangka panjang. Para investor akan mempertimbangkan sejauh mana regulasi dan kebijakan pemerintah mampu memberikan kepastian terhadap rencana investasi mereka dalam jangka panjang.
“Agar bisa lebih sustain, dukungan kebijakan pemerintah yang dapat membantu industri meminimalkan beban biaya operasional sangat diharapkan. Dengan begitu, perusahaan bisa melanjutkan dan menambah investasinya. Demikian pula dengan potential investor akan semakin tertarik,” katanya.
Hendra mengapresiasi kontribusi Vale Indonesia yang dinilainya menjadi pelopor dalam pengolahan dan pemurnian nikel di dalam negeri. Sejak awal, perusahaan ini telah menghasilkan produk berupa nikel matte melalui proses tersebut.
“Divestasi Vale Indonesia ini juga sudah memberikan dampak positif bagi pengembangan perusahaan ke depan, terutama karena salah satu prioritas pemerintah adalah pengembangan hilirisasi dan industrialisasi,” ucapnya.























