Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro.

Jakarta, Petrominer – Sektor hulu minyak dan gas (migas) Indonesia membutuhkan sebuah terobosan kebijakan dan regulasi agar tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Langkah ini juga diperlukan guna menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target produksi di tengah ketatnya persaingan global dan fluktuasi harga energi.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan dengan reformasi kebijakan yang tepat, sektor hulu migas dapat tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Kebijakan ini akan memastikan keberlanjutan investasi, meningkatkan penerimaan negara, dan mengurangi ketergantungan impor.

“Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjawab tantangan ini. Hanya dengan sinergi, kita bisa membawa sektor migas Indonesia ke tingkat yang lebih baik,” ujar Komaidi, Kamis (28/11).

Menurutnya, regulasi yang tidak fleksibel turut menambah beban sektor hulu migas. PP No. 35 Tahun 2017 tentang skema kontrak gross split dianggap terlalu kaku untuk kondisi lapangan marjinal. Contohnya Pasal 17 dan 31, yang tidak memberikan cukup fleksibilitas dalam penyesuaian bagi hasil, terutama untuk lapangan dengan risiko tinggi.

“Mekanisme pengawasan fasilitas perpajakan yang diatur dalam PP No. 17 Tahun 2017 juga memerlukan penyederhanaan,” ungkap Komaidi.

Selain tantangan tersebut, transisi energi global juga memberikan tekanan besar. Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, migas masih akan menyumbang 34-44 persen dalam bauran energi hingga tahun 2050. Namun, kebijakan fiskal yang ada belum cukup mendukung proyek berbasis gas alam atau energi ramah lingkungan lainnya.

Menurutnya, pengembangan proyek gas yang potensial seperti 43 undeveloped discoveries membutuhkan insentif khusus. Insentif tambahan ini dibutuhkan untuk meningkatkan daya tarik investasi, terutama di lapangan marjinal.

Penyederhanaan regulasi juga menjadi prioritas utama untuk memastikan keekonomian proyek migas. Contohnya penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100 persen selama tahap eksplorasi.

Saat ini, Pemerintah tengah mengkaji insentif berupa investment credit atau pengembalian modal tambahan untuk proyek berisiko tinggi. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi migas terhadap penerimaan negara.

Selain insentif fiskal, pemanfaatan teknologi baru juga menjadi bagian dari solusi. Menurut Komaidi, teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) telah menunjukkan hasil positif di beberapa lapangan tua.

Data SKK Migas menunjukkan bahwa penerapan teknologi ini dapat meningkatkan produksi hingga 20 persen di lapangan tertentu. Meski begitu, investasi teknologi semacam ini hanya akan datang jika ada kepastian hukum dan regulasi yang mendukung.

Dalam kajiannya, ReforMiner Institute juga  berharap agar Pemerintah mendukung transisi energi melalui kebijakan yang seimbang. Proyek berbasis gas alam dan panas bumi yang ramah lingkungan perlu mendapat prioritas. Integrasi energi fosil dengan energi baru terbarukan dapat menjadi jembatan menuju bauran energi yang lebih berkelanjutan.

“Kita tidak bisa meninggalkan sektor migas begitu saja, tetapi harus mengintegrasikannya dalam transisi energi,” ujar Komaidi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here