
Jakarta, Petrominer – Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa tren adopsi kendaraan listrik saat ini belum cukup signifikan mengubah struktur transportasi nasional. Pemerintah didesak melanjutkan pemberian insentif guna mempertahankan pertumbuhan adopsi kendaraan listrik, mengingat keterbatasan daya beli masyarakat.
Head Center of Industry INDEF, Andry Satrio Nugroho, mengatakan struktur daya beli mobil nasional terkunci dalam segmen yang sangat rendah. Mayoritas rumah tangga hanya mampu membeli mobil dengan harga di bawah Rp 200 juta, yang masih didominasi oleh mobil berbahan bakar fosil. Artinya, kesenjangan daya beli menjadi salah satu penghambat penetrasi kendaraan listrik.
“Jika pemerintah ingin mendorong transisi ke kendaraan listrik yang lebih cepat, seharusnya ada dukungan yang diberikan kepada masyarakat Indonesia secara finansial. Salah satunya dengan melanjutkan insentif,” ungkap Andry, Kamis (18/12).
Salah satu sumber pembiayaan untuk insentif tersebut, menurutnya, adalah cukai emisi. Pengenaan cukai emisi dapat menaikkan harga relatif kendaraan beremisi tinggi, mempersempit kesenjangan harga dengan kendaraan listrik, serta membiayai insentif kendaraan listrik tanpa menambah beban fiskal.
Simulasi INDEF menunjukkan, negara berpotensi memperoleh minimal Rp 37,7 triliun per tahun dari cukai emisi. Pengenaan cukai ini berdasarkan intensitas emisi kendaraan dengan asumsi cukai emisi mulai dari 10 hingga 30 persen terhadap harga jual kendaraan.
“Untuk itu pemerintah perlu mereformasi undang-undang barang kena cukai dengan memasukkan aspek lingkungan, khususnya emisi dari kendaraan bermotor. Menurut saya, langkah ini cukup positif karena dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus menjadi political buy-in untuk penerapan cukai emisi ini,” lanjut Andry.
Selanjutnya, Pemerintah perlu menetapkan definisi dan metodologi pengukuran emisi yang baku dalam satu standar yang resmi. Standar tersebut harus mengikat lintas kementerian dan tidak berubah setiap kali terjadi pergantian rezim kebijakan, agar memberikan kepastian bagi industri dan konsumen. Selain itu, titik pungutan cukai perlu ditetapkan sejak awal, yaitu pada saat pembelian kendaraan.
“Terakhir, Pemerintah perlu mengunci earmarking atau pengalokasian khusus dari penerimaan cukai tersebut, agar masyarakat tidak mempertanyakan penggunaan penerimaan dari cukai ini. Misalnya, dana yang terkumpul dapat digunakan untuk membiayai insentif kendaraan listrik, internalisasi eksternalitas BBM dengan membiayai BPJS kesehatan terkait penyakit pernafasan, atau mendukung pembiayaan transportasi umum daerah,” ungkap Andry.
Cegah Kematian Dini
Sementara itu, Direktur Clean Air Asia, Ririn Radiawati Kusuma, mengungkapkan bahwa dampak Indonesia mempertahankan pasar kendaraan berbahan bakar fosil cukup signifikan bagi masyarakat. Tanpa perubahan kebijakan transportasi, pertumbuhan kendaraan bermotor akan meningkatkan emisi mencapai lebih dari 160 ribu metrik ton dan konsentrasi PM2,5 mencapai 85 µg per m³ pada 2060.
Dampaknya, pada tahun yang sama, kematian dini akibat paparan PM2,5 akan menyentuh 1,8 juta jiwa per tahun, selain meningkatnya kasus penyakit pernafasan. Kematian dini juga berimbas pada hilangnya sumber utama penghasilan keluarga.
Hasil riset Clean Air Asia menunjukkan, transisi ke kendaraan listrik dapat secara signifikan memangkas emisi dan konsentrasi PM2,5. Bahkan, semakin tinggi tingkat adopsi kendaraan listrik, semakin banyak kematian dini akibat polusi udara yang dapat dicegah.
“Dengan adanya adopsi kendaraan listrik yang ambisius dan agresif hingga 100 persen, diperkirakan 36 persen kematian dini dapat dicegah, atau setara 700 ribu jiwa, pada 2060. Proyeksi ini masih menghitung bahwa sumber listriknya masih menggunakan batu bara. Bayangkan, jika dibarengi dengan transisi energi bersih, maka manfaatnya akan lebih besar,” kata Ririn.

























