Masalah pengelolaan sampah harus ditangani oleh pihak-pihak yang berkompeten dengan sampah sehingga hasilnya memuaskan. Salah satunya adalah potensi untuk diolah menjadi listrik.

Jakarta, Petrominer – Pemerintah memastikan kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) bakal meningkat seiring beroperasinya 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dalam tiga tahun mendatang. Kepastian ini disampaikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar dalam Rapat Kerja Nasional Gerakan Indonesia Bersih di Jakarta, Kamis (21/2).

Menurut Arcandra, pembangkit tersebut akan beroperasi di 12 wilayah di Indonesia dengan waktu operasional yang berbeda-beda. Sesuai rencana, 12 pembangkit tersebut akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 Megawatt (MW) dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari.

“Total seluruh rencana pembangkit ini bisa mengolah sampah setidaknya per hari 16 ribu ton. Ini cukup besar untuk kemudian menjadi listrik yang akan dibeli PT PLN (Persero),” paparnya.

Kehadiran pembangunan PLTSa rersebut tak lepas dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan program Pembangunan PLTSa. Berdasarkan aturan tersebut, Pemerintah Daerah bisa menugaskan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BUMN, atau swasta untuk mengembangkan PLTSa dan nanti akan mendapatkan bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) kepada pemda maksimal Rp 500 ribu per ton sampah.

“Jadi Bapak/Ibu bisa kalau cukup sampahnya untuk dijadikan waste to energy. Silahkan ajukan dengan mekanisme seperti itu,” jelas Arcandra kepada para peserta rapat kerja.

Terkait harga jual beli, Pemerintah akan menetapkan formula dan harga jual beli yang dipakai untuk dasar perjanjian jual beli listrik antara PLN dan pengembang. Sebelum Perpres ini ada, jual beli listrik sampah memakai skema feed in tariff, di mana tarif ditetapkan sampai US$ 17 – 18 sen per kilo Watt Hour (KWh). Padahal harga jual PLN untuk golongan tertentu sangat jauh di bawah US$ 17 sen.

Kehadiran Perpres ini, jelas Arcandra, bisa menetapkan nilai keekonomian jauh di bawah US$ 17 sen, sekitar US$ 13 sen KWh dengan syarat penambahan tapping fee yang harus disediakan oleh Pemda sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Sisa kekurangan tapping fee inilah yang nantinya akan dibayar oleh Pemerintah Pusat.

Pengembangan PLTSa juga didukung oleh perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028 yang diluncurkan awal tahun ini. Sesuai peta jalan itu, pembangkit EBT bisa dibangun di luar perencanaan RUPTL asal kapasitasnya di bawah 10 MW.

“Ini jalur khusus sesuai diktum kelima,” tegasnya.

Investasi Tergantung Teknologi

Surabaya akan menjadi kota pertama yang mengoperasikan pembangkit listik berbasis biomassa tersebut tahun 2019 ini. Rencananya, kapasitas pembangkit mencapai 10 MW dari volume sampah 1.500 ton/hari. Investasi yang dikucurkan sekitar US$ 49,86 juta.

Lokasi PLTSa kedua di tahun ini berada di Bekasi. Dengan investasi US$ 120 juta, pembangkit itu memiliki daya 9 MW. Meski demikian, PLTSa tersebut masih menunggu persetujuan studi kelayakan dari PLN, sehingga ada kemungkinan beroperasi tahun 2021.

Sementara pada tahun 2021 bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW) dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan listrik di tiga lokasi yang mengelola sampah 2.800 ton/hari itu mencapai US$ 297,82 juta.

Selang setahun, tahun 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di lima kota, dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut adalah DKI Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi US$ 345,8 juta, Bandung (29 MW – US$ 245 juta), Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dan investasi US$ 120 juta.

“Perbedaan biaya (inivestasi) itu tergantung teknologinya seperti apa, kapan dimulai pekerjaan, volume dan jenis sampah,” kata Arcandra.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here