
Jakarta, Petrominer – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi inisiatif Presiden Prabowo Subianto yang mengusung program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 100 Gigawatt (GW). Namun, IESR menekankan proyek ini bakal menghadapi setidaknya tiga tantangan, terutama dalam tahap persiapan dan implementasi yang perlu diatasi agar berhasil.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan program ini sangat tepat untuk mengatasi tantangan transisi energi untuk memperkuat swasembada energi. Program ini merencanakan pembangunan 80 GW PLTS dan 320 GWh Battery Energy Storage System (BESS) yang akan dikelola oleh Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di 80 ribu desa, dan 20 GW PLTS Terpusat.
“Apabila terlaksana dengan baik, proyek ini akan menjadi inisiatif elektrifikasi desa dan program pembangkit energi terbarukan terdistribusi yang terbesar di Asia Tenggara serta akan mengatasi tantangan penyediaan energi yang berkualitas, merata dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Fabby, Kamis (7/8).
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi energi surya dengan kapasitas antara 3.300 GW hingga 20.000 GW yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dengan teknologi PLTS yang semakin murah, modular, dan mudah dibangun dan dioperasikan, proyek ini bisa menjadi solusi strategis untuk menyediakan akses energi yang handal dan terjangkau di Indonesia.
Meski begitu, IESR menekankan bahwa proyek ini bakal menghadapi setidaknya tiga tantangan, terutama dalam tahap persiapan dan implementasi. Ini perlu segera diatasi agar proyek tersebut berhasil.
Pertama, pemilihan lokasi pembangkit harus mempertimbangkan kondisi geografis, kebutuhan beban listrik, dan memastikan kelayakan teknis serta finansial dari 80 ribu proyek yang direncanakan.
Untuk itu, keterlibatan perguruan tinggi di Indonesia khususnya yang memiliki fakultas teknik sangat diperlukan untuk merancang dan mempersiapkan proyek PLTS tersebar ini. Perancangan sistem perlu dilakukan secara khusus sehingga memungkinan desain yang modular dan dapat dipasang dengan cepat (plug and play).
Kedua, pembangunan 1 MW PLTS, 4 MWh BESS membutuhkan setidaknya 30-50 orang tenaga kerja berbagai level dalam periode 9 sampai 12 bulan, dari tahap persiapan sampai pengujian akhir (commissioning). Kebutuhan tenaga kerja dengan keahlian tinggi dan keahlian menengah untuk melakukan konstruksi dan pembangunan PLTS dan BESS masih sangat terbatas saat ini. Selain itu ketersediaan tidak merata di seluruh Indonesia.
Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah perlu segera melakukan pemetaan kebutuhan tenaga kerja dan mempersiapkan pemasang yang bersertifikasi (certified installer) melalui kerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK), sekolah vokasi dan perguruan tinggi. Program pelatihan juga harus menjangkau komunitas lokal di sekitar lokasi proyek agar tenaga kerja yang direkrut dan dilibatkan adalah warga setempat. Tenaga-tenaga terampil perlu disiapkan untuk mendampingi KDMP untuk siap melakukan operasi dan perawatan (operation and maintenance) pembangkit listrik ini.
Ketiga, perencanaan dan implementasi membutuhkan koordinasi lintas kementerian, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha swasta.
Untuk itu, Presiden perlu membuat program ini sebagai Program Strategis Nasional (PSN) dan membentuk Satuan Tugas yang terdiri unsur-unsur yang harus terlibat dalam perencanaan dan implementasi program ini. Dan di bawah Satgas ini, dibentuk Project Management Unit (PMU) yang akan mengelola proyek ini secara profesional.

























