Seorang pengemudi taksi online sedang mengisi daya mobil listrik di SPKLU. (Fachry Latief/ Petrominer)

Jakarta, Petrominer – Indonesia tengah menggulirkan program insentif kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (EV) untuk 250 ribu kendaraan roda dua (2W) dan 35.900 kendaraan roda empat (4W) untuk tahun 2023. Alasannya bergam, mulai dari penurunan konsumsi BBM impor hingga penurunan emisi, dan tidak kalah penting adalah sebagai usaha mendongkrak industri berbasis nikel.

Apa urgensi insentif EV saat ini? Sepertinya jawaban terdekat adalah untuk menarik minat investasi dari dua raksasa produsen EV ke Indonesia, yakni BYD Auto dari China, dan Tesla. Insentif untuk kendaraan 2W kemungkinan didorong oleh faktor yang berbeda, termasuk mempertimbangkan aspek keadilan dan menurunkan subsidi BBM. Insentif tersebut diharapkan akan memberikan efek kejut terhadap pemain otomotif yang ada, dan menunjukkan keseriusan pemerintah untuk bergeser dari arah business-as usual.

 

  • Putra Adhiguna
    The Energy Technologies Research Lead for Asia at the Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA)

 

Apa yang tengah terjadi di wilayah ASEAN? Beberapa negara Asia Tenggara tengah berkompetisi untuk menarik investasi produsen EV sebagai respons atas tren pertumbuhan kendaraan listrik dunia. Indonesia berkompetisi ketat dengan Thailand, produsen otomotif terdepan saat ini. Hyundai dari Korea Selatan dan Wuling dari China telah hadir di Indonesia, sementara produsen EV unggulan dari China, BYD, tengah memulai pembangunan pabriknya di Thailand bulan ini. Filipina dan Vietnam juga sudah menunjukkan ketertarikan mereka.

Filipina adalah produsen nikel terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, meski memiliki kendala dengan harga listrik mereka yang lebih mahal. Dengan berbagai insentif EV yang digulirkan di berbagai negara, persaingan untuk menjadi pusat industri EV di ASEAN semakin ketat.

Apa keuntungan adopsi EV bagi Indonesia? Indonesia dapat menurunkan impor minyak, mengurangi emisi life-cycle dari sektor transportasi, dan meningkatkan industri nikel dan turunannya. Pengurangan subsidi BBM akan bergantung kepada jenis kendaraan yang akan digantikan. Hal tersebut lebih mungkin terjadi untuk segmen kendaraaan roda dua mengingat besaran insentif untuk kendaraan roda empat mungkin tidak cukup untuk membuat pengguna pengendara mobil segmen menengah beralih ke kendaraaan listrik. Dalam beberapa tahun terakhir, cukup banyak perusahaan motor listrik domestik bermunculan, meski banyak yang masih mengimpor komponen baterai yang digunakan.

Sejauh ini, Indonesia telah berhasil menarik dua produsen EV, Hyundai dan Wuling. Menarik untuk dicatat bahwa Wuling Air EV, yang merepresentasikan 75 persen dari penjualan mobil listrik di Indonesia tahun lalu, menggunakan baterai berbasis besi yang dikenal sebagai lithium iron phospate (LFP) yang harganya lebih terjangkau dan tidak mengandung nikel. Tren yang sama sangat mungkin ditemukan di segmen roda dua, di mana harga LFP yang lebih rendah memberikan keutungan di pasar yang sensitif terhadap harga seperti Indonesia.

Di kuartal I 2022, hampir separuh mobil baru yang diproduksi Tesla menggunakan baterai LFP, terutama yang dijual di China.

Bagaimana kaitan antara baterai rendah-atau-tanpa nikel dengan hilirisasi nikel Indonesia? Penggunaan baterai berbasis nikel akan terus tumbuh di dunia, kemungkinan lebih banyak untuk pemakaian yang membutuhkan performa tinggi seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang jauh. Ironisnya, belum jelas apakah kekayaan nikel Indonesia akan mendominasi perkembangan EV di pasar domestik. Mengingat sebagian besar populasi Indonesia memiliki kendaraan roda dua dan mobil segmen bawah sampai menengah, pertimbangan biaya sangat mungkin akan mencondongkan pasar EV Indonesia ke arah baterai LFP yang lebih terjangkau.

Inisiatif yang ada tampak lebih terfokus pada pembangunan industri yang terkait penambangan nikel dan peningkatan industri baterai. Dengan bertumpu kepada dua inisiatif tersebutlah tampak usaha untuk bisa memproduksi EV berharga terjangkau, baik dengan maupun tanpa baterai berbasis nikel. Sementara itu, ada juga rencana untuk membangun pabrik baterai LFP di Indonesia.

Pada akhirnya, apakah nikel Indonesia akan cukup kompetitif untuk mendorong tumbuhnya pasar EV domestik dengan baterai berbasis nikel masih menjadi pertanyaan.

Penggunaan nikel pada kendaraan listrik (EV) yang diberi insentif relatif terbatas.

Apakah insentif yang diberikan akan cukup untuk mendorong adopsi EV di Indonesia? Program insentif pemerintah untuk mendorong penggunaan EV patut diapresiasi, namun adopsi EV pada skala besar tetap memerlukan penguatan kebijakan lain termasuk untuk infrastruktur charging dan pembatasan kendaraan konvensional. Komitmen multi-year dibutuhkan untuk mendukung ekspansi pasar EV yang berkelanjutan.

Contohnya, program subsidi EV di India didesain sebagai program tiga-tahunan. Perlu diakui bahwa penyusunan kebijakan tersebut tidak mudah mengingat sudah dekatnya tahun pemilu, namun hal ini semakin menekankan pentingnya pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mengawasi efektivitas berjalannya insentif tersebut.

Dalam hal mendorong penggunaan EV, Indonesia sebenarnya sudah berada di arah yang tepat mengingat alternatif lainnya adalah terus menambah impor dan subsidi BBM. Namun tetap dibutuhkan sebuah komitmen regulasi yang optimal untuk membentuk pasar EV domestik yang signifikan.

Apa yang perlu diperhatikan? Pemerintah harus mengantisipasi lonjakan penjualan EV yang tidak diikuti dengan perkembangan pasar EV yang berkelanjutan, termasuk risiko turunnya penjualan setelah pemberian insentif berakhir. Milestone yang jelas dan tren penurunan harga perlu menjadi perhatian.

Pelajaran dari negara lainnya harus dipertimbangkan dalam mengawasi dan mengoptimalkan program insentif EV ini, termasuk dalam mengantisipasi risiko penyelewangan insentif. Insentif dapat dibentuk secara progresif untuk mendorong teknologi tertentu yang memudahkan pengguna kendaraan seperti kendaraan dengan jarak tempuh yang lebih jauh, tingkat keselamatan yang lebih baik atau kemampuan penukaran baterai. Pembangunan infrastruktur terkait EV harus didorong secara bersamaan dengan program insentif

Program insentif yang ada saat ini tampak seperti sebuah perlombaan dengan negara ASEAN lainnya dalam mendorong investasi EV. Terlepas dari narasi kendaraan listrik yang terlihat berpijak pada sumber daya nikel domestik, pertarungan yang ada terfokus pada usaha pembangunan pabrikan baterai dan EV. Tanpa turut andil dalam produksi kendaraan listrik, Indonesia hanya akan terbebani imbas lingkungan dari eksploitasi nikel sementara tidak meraih keuntungan berarti dari adopsi EV yang lebih efisien.

Kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) di Amerika Serikat yang digulirkan tahun lalu memberikan insentif lebih untuk implementasi teknologi bersih di AS, termasuk EV. Pada waktu yang bersamaan kebijakan tersebut memberikan batasan terhadap produk yang berkaitan dengan “foreign entity of concern” yang dapat meliputi entitas yang terkait dengan China. Uni Eropa pun tengah menggulirkan proposal Net Zero Industry Act dan Critical Raw Material Act untuk mendorong pembangunan rantai pasok terkait EV di wilayahnya. Kedua inisiatif tersebut dapat memiliki imbas terhadap Indonesia yang perlu diantisipasi.

Seiring dengan berkembangnya teknologi dan komposisi baterai, perhatian dunia terhadap imbas lingkungan industri nikel akan semakin menguat dan harus dapat ditangani untuk menjaga daya saing Indonesia. Inisiatif eksternal seperti IRA dan kebijakan Uni Eropa diharapkan dapat membuka pintu bagi investasi industri nikel yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan untuk meningkatkan standar industri.

Dorongan menuju responsible nickel supply chain akan terus berdatangan dari semua sisi: pengguna EV, produsen kendaraan dan masyarakat Indonesia. Dengan Indonesia yang kerap membanggakan leverage yang kuat dengan sumber daya nikelnya, tentunya pemerintah memiliki kekuatan untuk mengatasi kendala lingkungan dan sosial yang terkait. Dan bila tidak, maka di manakah leverage tersebut?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here