Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atas bangunan bertingkat di Jakarta.

Jakarta, Petrominer – Ada hal menarik di sektor kelistrikan nasional saat memasuki tahun 2019. Para konsumen PT PLN (Persero), yang biasanya hanya membeli listrik, kini sudah bisa menjadi produsen listrik yang dihasilkan sendiri dari pemanfaatan energi terbarukan.

Dengan begitu, para konsumen bisa mengurangi tagihan listrik bulanan. Tidak hanya itu, kondisi baru ini juga mendorong peran serta nyata masyarakat untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan mendukung pencapaian target EBT 23 persen di tahun 2025.

Kondisi tersebut terealisasi berkat terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT PLN (Persero). Kebijakan ini merupakan peraturan terbaru mengenai implementasi pemanfaatan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap.

“Aturan ini dimaksudkan untuk membuka peluang bagi seluruh konsumen PLN baik dari sektor rumah tangga, bisnis, Pemerintah, sosial maupun industri untuk berperan serta dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi terbarukan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi, khususnya energi surya,” ujar Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Direktorat Jenderal EBTKE, Harris, beberapa waktu lalu.

Menurut Harris, kebijakan baru ini merupakan desentralisasi terhadap konsumen, yang tadinya produsen hanya PLN tapi sekarang konsumen juga bisa sebagai produsen. PLN diharapkan bisa melihat kebijakan PLTS Atap ini sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.

“PLTS Atap ini sedang populer dan sedang berkembang pesat, karena implementasinya mudah, sederhana dan kapasitas yang mudah diatur sesuai ketersediaan luasan atap, dengan memasang PLTS Atap secara on grid, maka konsumen dapat menurunkan biaya tagihan listriknya secara signifikan, minimal 30 persen,” jelasnya.

Dengan mengimplementasikan sistem PLTS Atap ini, selain mengurangi tagihan listrik bulanan, ada peran serta nyata masyarakat ikut mengembangkan energi baru terbarukan dan mendukung pencapaian target EBT 23 persen di tahun 2025. Melalui implementasi ini, energi surya yang ditargetkan 6,6 megawatt (MW) bisa diakselerasi, industri energi surya juga dapat terpacu, target penurunan gas rumah kaca dapat dicapai, serta tentu terdapat peningkatan lapangan kerja.

“Dengan kita memasang PLTS atap, sebenarnya bukan jualan listrik, itu rasanya kurang tepat, yang diutamakan adalah bagaimana kita bisa mengurangi tagihan listrik kita sambil memaksimalkan upaya dalam penurunan gas emisi rumah kaca dan mendukung energi bersih” ungkap Harris.

Pokok-pokok yang diatur dalam Permen ESDM No 49/2018 ini antara lain ketentuan umum, penggunaan sistem PLTS atap, perhitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS atap, pembangunan dan pemasangan sistem PLTS atap, pelaporan, ketentuan lain dan ketentuan peralihan. Dalam aturan ini, kapasitas Sistem PLTS Atap dibatasi paling tinggi 100 persen dari daya tersambung Konsumen PLN, kapasitas tersebut ditentukan dengan kapasitas total inverter.

Untuk energi listrik yang diproduksi PLTS Atap mayoritasnya digunakan sendiri. Sementara untuk kelebihan tenaga listriknya (excess power) akan diekspor ke PLN dengan faktor pengali 65 persen, di mana pelanggan bisa menggunakan deposit energi untuk mengurangi tagihan listrik bulan berikutnya.

“Perhitungan ekspor-impor energi listrik dari Pelanggan PLTS Atap ini mulai berlaku 1 Januari 2019,” jelasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here