Jakarta, Petrominer — Pemerintah diminta melakukan sejumlah terobosan untuk memperbaiki iklim investasi di sektor minyak dan gas bumi (migas), dan mengurangi dampak yang dialami pelaku industri akibat merosotnya harga. Pasalnya, turunnya harga minyak dunia sejak pertengahan tahun 2014 menjadi ancaman bagi keberlangsungan industri hulu migas di Indonesia.

Saat ini, aktivitas di sektor migas menurun karena kegiatan di hulu melorot menyusul langkah perusahaan yang menghitung ulang rencana bisnis termasuk kegiatan eksplorasi dan produksi. Beberapa kontraktor bahkan menghentikan kegiatan eksplorasi, terutama di sumur-sumur yang tidak ekonomis, mengembalikan blok migas kepada pemerintah, hingga terpaksa mengurangi jumlah karyawan.

Menurut Indonesian Petroleum Association (IPA) Director, Tenny Wibowo, Jum’at (15/4), kondisi itu telah memaksa para pelaku industri melakukan berbagai upaya efisiensi. Turunnya harga minyak juga berimplikasi terhadap penerimaan negara.

Menurut perhitungan IPA, ujar Tenny, penerimaan sektor migas pada tahun 2015 tercatat hanya Rp 78,4 triliun. Angka itu meleset dari target APBNP 2015 yang sebesar Rp 81,4 triliun. Sedangkan realisasi Pajak Penghasilan (PPh) Migas turun 43 persen dari tahun sebelumnya menjadi Rp 49,7 triliun.

“Realisasi investasi sektor migas pun hanya US$ 15,9 miliar, meleset dari target pemerintah yang sebesar US$ 23,7 miliar,” paparnya.

Implikasi yang lebih besar dirasakan sejumlah daerah yang anggarannya ditopang dana bagi hasil (DBH) migas. Kutai Kartanegara misalnya, yang pada 2014 mendapatkan DBH Rp 3,2 triliun, pada 2015 hanya menerima Rp 700 miliar. Kabupaten Kampar juga mengalami nasib serupa. Dari Rp 1,2 triliun pada 2014, DBH yang diterima merosot menjadi Rp 400 miliar.

Akibatnya, kegiatan ekonomi di sejumlah daerah itu ikut meredup. Selama ini investasi di sektor migas memberikan dampak berganda (multiplier effect) terhadap kegiatan industri lainnya, seperti perusahaan kontraktor pengeboran, katering, hingga hotel dan tempat-tempat hiburan. Sejumlah program pembangunan yang direncanakan pemerintah daerah juga tertunda karena minimnya anggaran.

Meredupnya kegiatan ekonomi di daerah terlihat dari turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi di sejumlah provinsi yang selama ini menjadi pusat industri migas. Kalimantan Timur menjadi yang paling terpukul karena perekonomiannya minus 0,9 persen pada 2015. Padahal pada 2011 perekonomiannya masih tumbuh 6,5 persen

“Jika tidak segera diantisipasi, situasi saat ini dalam jangka panjang dapat berimplikasi terhadap ketahanan energi Indonesia,” tegas Tenny.

Peluang Investasi

Meski begitu, penurunan harga minyak membuka peluang untuk meningkatkan investasi di sektor hulu migas. Ini mengingat biaya eksplorasi migas menurun mengikuti tren harga minyak. Tenny mengungkapkan, kesempatan ini mesti dimanfaatkan untuk meningkatkan eksplorasi guna menambah cadangan dan kapasitas produksi nasional. Sehingga,ketika harga minyak kembali naik pemerintah tinggal memetik keuntungan dari stok yang berlimpah.

Berdasarkan proyeksi BP Energy Outlook 2016, harga minyak bisa mengalami rebound dalam beberapa tahun ke depan seiring permintaan yang meningkat. Apalagi, bahan bakar yang berasal dari fosil masih mendominasi, yakni sekitar 80 persen, dari total kebutuhan dunia pada 2035.

“Upaya ini sejalan dengan prioritas pemerintah untuk menciptakan ketahanan energi nasional. Dengan cadangan energi yang berlimpah maka impor minyak juga bisa ditekan,” ujarnya.

Namun, menurut Tenny, langkah tersebut perlu mendapat dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholders), terutama pemerintah. Perlu insentif untuk mendorong investasi di eksplorasi, terutama selama harga minyak masih rendah. Insentif tersebut antara lain moratorium masa eksplorasi yang saat ini berlangsung selama 10 tahun dan mengubah skema bagi hasil supaya lebih fleksibel dengan tren harga minyak.

Insentif tersebut dapat dicabut kembali ketika harga minyak naik ke posisi tertentu. Adapun dalam jangka panjang, pemerintah diharapkan dapat menghilangkan berbagai hambatan atau disinsentif. Antara lain: sulitnya pembebasan lahan, proses perizinan yang berbelit, sistem perpajakan yang tidak ramah, ketidakjelasan regulasi antar-sektor, hingga kriminalisasi terhadap pelaku industri migas.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here