
Jakarta, Petrominer – Koalisi organisasi masyarakat sipil “Sulawesi Tanpa Polusi” menuntut Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) industri berbahan bakar batubara dan meninjau ulang status proyek nikel sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Presiden Prabowo juga diminta untuk melindungi wilayah kelola masyarakat dan hutan adat, mereformasi penegakan hukum di sektor pertambangan, dan memastikan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Hal itu diungkapkan koalisi tersebut dalam laporannya terkait dampak ekologis dan sosial parah dari ekspansi industri nikel yang pesat di Sulawesi. Kertas kebijakan dengan judul “Sulawesi Lumbung Polusi: Hilirisasi Nikel dan Runtuhnya Tatanan Sosial-Ekologis” diungkapkan dan dirilis, Kamis (22/5).
Koordinator Sulawesi Tanpa Polusi, Muhammad Al Amin, menjelaskan bahwa laporan tersebut merinci deforestasi yang meluas, polusi udara dan air, krisis kesehatan, penggusuran masyarakat, dan kriminalisasi pembela lingkungan. Dalam kurang dari satu dekade, Sulawesi telah menjadi pusat pengolahan nikel Indonesia. Terlepas dari klaim industri tentang kemajuan dan kontribusi pada transisi energi global, masyarakat lokal menanggung beban polusi, konflik, dan keadaan darurat kesehatan.
“Kami tidak menyaksikan kemajuan, tetapi kehancuran ekologis yang masif dan sistemik,” kata Amin.
Koalisi pun telah mengajukan tuntutan tindakan Pemerintah. Sebuah delegasi telah dikirim ke Jakarta pada 21 Mei 2025. Dalam kesempatan itu, perwakilan dari masyarakat terdampak dan organisasi masyarakat sipil (OMS) berusaha menyampaikan langsung kekhawatiran mereka kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian. Mereka menuntut revisi Peraturan Presiden 112/2022, khususnya pengecualian untuk PLTU industri berbahan bakar batubara.
“Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian tidak memiliki peta jalan yang jelas untuk menghapus batubara dalam aktivitas industri, dan membahayakan masyarakat Sulawesi. Hampir semua smelter nikel bergantung pada PLTU batubara, yang berkontribusi signifikan terhadap polusi,” ungkapnya.
Amin menyampaikan temuan di Morowali, di mana warga di dekat Kawasan Industri PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) melaporkan kualitas udara yang memburuk, perampasan tanah, polusi laut, dan kriminalisasi aktivis. Tidak hanya itu, penyakit pernapasan meningkat tajam sejak pengoperasian PLTU dan smelter.
Sementara di Konawe, masyarakat di dekat smelter dan PLTU menghadapi masalah kesehatan akibat polusi abu terbang dan abu dasar di sumber air. Ibu-ibu melaporkan peningkatan pekerjaan rumah tangga akibat debu yang terus-menerus, dan anak-anak berisiko menghirup udara yang tercemar.
Untuk itu, Pemerintah dan Perusahaan China dituntut untuk memoratorium pembangunan dan pendanaan PLTU captive di Indonesia. Sejalan dengan itu, mereka juga diminta untuk meningkatkan standar perlindungan lingkungan dan sosial.
“Presiden Prabowo harus segera menghentikan pembangunan PLTU captive, tinjau ulang status Proyek Strategis Nasional dari proyek nikel berbahaya, lindungi wilayah kelola masyarakat dan hutan adat, reformasi penegakan hukum di sektor pertambangan, dan pastikan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan,” tegasnya.

























