Jakarta, Petrominer – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, menyatakan bahwa Indonesia punya potensi untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Namun banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memulai program tersebut.
“Dialog yang kini dilakukan tentang Program Nuklir sudah berbeda. Bukan lagi berdialog apakah nuklir (dalam arti PLTN) yang selama ini pada PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 79 tentang Kebijakan Energi Nasional sebagai the last resource. Yang kita fokuskan apakah kita punya resources, teknologi, sumber daya manusianya?” papar Arcandra usai memimpin Focus Group Discussion (FGD) mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Jum’at malan (3/11).
FGD tersebut dihadiri oleh Kurtubi (Anggota Komisi VII DPR RI), Wakil Gubernur Bangka Belitung, Kepala BATAN, Kemenko Perekonomian, Bappenas, Kementerian Perindustrian, PT PLN (Persero), dan perwakilan universitas (ITB). FGD ini membahas enam poin, yaitu ketersediaan, teknologi, sumber daya manusia, kesiapan masyarakat, bisnis proses serta komersialisasi.
Menurut Wamen ESCM, dalam pengembangan PLTN harus diperhatikan beberapa hal. “Apakah ketersedian bahan baku masih resource atau sudah reserve, untuk teknologi apakah sudah ada yang bisa mengembangkan thorium, juga sumber daya manusia, banyak hal yang harus dipertimbangkan,” ungkapnya.
Dalam FGD, paparnya, terungkap beberapa hal, yakni:
- Ketersediaan potensi sumber daya di bangka belitung Thorium sebesar 120.000 ton, Uranium 24.000 ton, dan Unsur Tanah Jarang 7.000.000 ton.
- Belum adanya teknologi yang proven (terbukti) untuk thorium. Pasalnya, selama ini mayoritas teknologi untuk uranium.
- Terdapat 447 PLTN beroperasi di 31 negara, dan 61 negara sedang konstruksi. Perancis memiliki kapasitas terbesar (75 persen bauran energi), sedangkan saat ini Cina paling aktif konstruksi.
- Keekonomian harga nuklir masih diatas Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik nasional.
- Penerimaan masyarakat.
“Secara garis besar kita memiliki potensi, tetapi pembiayaan nuklir itu besar sekali, hingga US$ 6 juta per MW, apabila dibandingkan pembangkit batubara yang membutuhkan US$ 1-2 juta per MW, serta harga akhir yang masih di atas BPP, sekitar 9,7 sampai 13,6 cent$ per kWh,” jelas Wamen ESDM.
Dia mencontohkan untuk perhitungan tarif listrik PLTN di Bangka oleh Rosatom (Rusia) sebesar 12 cent$/kWh. Dengan harga tersebut yang lebih tinggi dari BPP sebesar 7 cent$/kWh, maka, biaya kemahalan listrik PLTN mencapai Rp. 3 triliun untuk kapasitas 300 MW.
“Apabila secara komersial tidak memadai dibanding pembangkit energi terbarukan yang lainnya, lebih baik dipikirkan lagi. Selain itu perlu waktu 10 tahun untuk pengembangan nuklir setelah go nuklir,” terang Wamen.